Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Untuk apa sembuhkan luka, bila hanya tuk cipta luka baru? (Supartono JW.15092016) supartonojw@yahoo.co.id instagram @supartono_jw @ssbsukmajayadepok twiter @supartono jw

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Setelah Putusan MK, Siapa yang Akan Menjadi Oposisi?

29 Juni 2019   09:56 Diperbarui: 29 Juni 2019   09:59 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kalau melihat gejala yang ada saat ini, oposisi sepi peminat," kata Nyarwi kepada wartawan, Jumat (28/6/2019).

Dia mengamati perjalanan politik nasional, oposisi di Indonesia memang cenderung sepi peminat sejak awal reformasi. Hanya sedikit parpol yang mampu menjalankan tugas itu dengan baik. Ini karena budaya oposisi tidak berkembang dengan baik di sistem demokrasi Indonesia. 

"Oposisi juga sering dilabeli dengan stigma negatif, seperti melawan pemerintah, bahkan disebut juga makar. Akibatnya, budaya oposisi tidak berkembang baik," kata Nyarwi.

Kalaupun ada parpol yang dikenal bersikap oposisi, Nyarwi menilai itu karena semacam kecelakaan politik atau takdir politik, konretnya: gagal menjadi juara di pilpres dan tidak mendapat teman di pemerintahan. Nyarwi menyalahkan kerdilnya tradisi oposisi tulen pada elite-elite parpol di Indonesia. 

"Rezim politik pemerintahan dalam sistem demokrasi tanpa oposisi... itu sangat mengkhawatirkan," ujar Nyarwi resah.

Yah, apapun dan bagaimanapun, oposisi tetap diperlukan dalam sistem demokrasi presidensial seperti Indonesia maupun parlementer seperti di negara lain.

Oposisi jelas memiliki manfaat, antara lain:

Pertama, menjadi saluran pelampiasan gerakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Bila ketidakpuasan terhadap pemerintah tak menemukan salurannya, hasrat perlawanan itu bisa tertumpah di jalanan yang rentan diwarnai aksi kekerasan. 

Kedua dari eksistensi oposisi adalah sebagai pemberi kritik maupun pandangan alternatif terkait kebijakan pemerintah. Tanpa oposisi yang sehat dan kuat, pemerintah bisa terjebak pada cara-cara otoriter dalam mengelola kekuasaannya. Cara-cara otoriter itu sering kali dilakukan oleh aktor di dalam pemerintah baik secara sadar atau tidak.

Keberadaan oposisi juga untuk membangun checks and balances dalam demokrasi. John Dalberg-Acton atau Lord Acton (1834-1902) punya adagium terkenal, "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut sudah pasti korup."

Untuk menghindari kekuasaan absolut, dibutuhkan peran oposisi sebagai alat kontrol dan penuntut transparansi. Yang pasti, sejarah telah memberi bukti bahwa, pemerintahan demokrasi tanpa adanya oposisi sangat berpotensi melahirkan pemerintahan otoriter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun