Pesta Demokrasi Pilpres, secara jadwal dan hasil memang sudah usai. Paslon 01 Jokowi-Amin dinyatakan sebagai pemenang oleh KPU.
Namun, adanya penolakan hasil Pilpres oleh kubu Paslon 02 Prabowo-Sandi dan dilanjutkan dengan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), seharusnya pihak 01 menghargai upaya hukum yang sedang dilakukan oleh Prabowo-Sandi dengan tidak menunjukkan sikap bahwa paslon 01 sudah yakin pasti menang.
Andai saja Jokowi-Amin serta pendukungnya mau berbesar hati, hargai dulu proses hukum atas gugatan paslon 02 dengan cara tidak perlu bermanuver politik dulu.
Barangkali dengan cara begitu, suasana panas dan perseteruan tidak terus meruncing. Sebab, apapun yang diupayakan oleh Presiden Jokowi, dalam rangka merajut kembali suasana kekeluargaan dan persatuan, tidak semudah membalik telapak tangan.
Bila nantinya, gugatan Prabowo-Sandi kalah, maka perlu diingat bahwa 44, 50 Prosen rakyat tidak memilih Jokowi.
Jadi tentu tidak mudah upaya merajut kembali kekeluargaan, persaudaraan, dan persatuan bangsa.
Selain itu, yang paling menyedihkan dan memprihatinkan, dan seolah tidak disadari oleh seluruh rakyat bangsa ini, mengapa media massa cetak dan elektronik justru seolah menjadi provokator!
Menampilkan opini elite politik yang justru menambah keruh suasana. baik di media cetak, elektronik, maupun di layar kaca.
Mengapa Komisi Penyiaran diam seribu bahasa? Anak-anak kecil sekarang jadi pandai berseteru mencontoh para tokoh elite politik yang begitu lantang berbicara dalam berita maupun saat tampil menjadi tokoh yang diundang televisi.
Sejak awal proses Pilpres, hingga kini usai pengumuman KPU  yang diakhiri dengan demo rusuh, terus saja media kita menyajikan dan menampilkan  berita dan perdebatan elite politik yang sejatinya tidak layak dikonsumi publik.
Sungguh pendidikan politik yang kebablasan. Penuh kata-kata dan ujaran yang tak pantas dibaca, didengar, dan ditonton rakyat.
Terlebih ada juga partai politik pendatang baru yang hanya mencari sensasi dan terus memprovokasi.