Slogan mencegah lebih baik dari pada mengobati, ternyata tidak terpikirkan sebelumnya oleh Komisi Pemilihan Umum. Pemilu 2019 yang mencatat sejarah sebagai Pemilu terbesar bahkan di dunia, karena secara bersamaan memilih Presiden, Wakil Presiden serta anggota Legislatif dari mulai DPD hingga DPR Pusat, imbasnya memakan korban jiwa.
"Tragis, miris"
KPU bersama calon Presiden, Wakil Presiden, anggota legislatif serta seluruh rakyat pendukung masing-masing kubu hanya sibuk memikirkan kepentingannya sendiri. Media cetak dan elektronikpun demikian, hingga tidak ada pula peringatan dini dari stakeholder terkait di negeri ini menyangkut kesehatan dan analisis dampaknya dari Kementerian terkait, bahwa pesta demokrasi rakyat 2019 ini sangat berbeda dengan seluruh sejarah pesta demokrasi Indonesia sebelumnya. Jadi, saharusnya sudah ada kajian akan dampak waktu penghitungan dan kesehatan bagi petugasnya.
Setali tiga uang, ada lembaga survei, namun hanya sibuk dengan kepentingan bisnisnya sendiri. Bila saja lembaga survei tidak hanya sibuk mengurus dan sibuk menggiring opini rakyat demi suatu "kepentingan" dan coba melakukan survei kesehatan calon petugas KPPS, maka adanya korban meninggal bisa jadi tidak akan terjadi.
Nasi sudah menjadi bubur. Inilah catatan sejarah demokrasi Indonesia terburuk bahkan di belahan dunia manapun tidak pernah terjadi peristiwa tragis dan miris dampak dari pesta demokrasi rakyat yang seharusnya menyenangkan dan menggembirakan. Tetapi sebaliknya timbukkan bencana dan musibah, ternyata banyak korban yang harus meregang nyawa.
Mengapa pemerintah juga tidak mengucapkan belasungkawa dan ucapan berkabung secara nasional? Padahal korban meninggal ratusan!
Kendati Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah membahas santunan untuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia ketika mengawal pasca Pemilu 2019, tetap saja periatiwa tragis dan miris ini tidak bisa dilewatkan begitu saja.
KPU sendiri telah mencatat, ada 119 petugas KPPS meninggal hingga Selasa 23 April 2019, sekitar pukul 19.30 WIB.
Terkait santunan, Ketua KPU, Arief Budiman, menyebut pemberian santunan melalui perhitungan sejumlah regulasi, seperti VPJS dan lainnya. KPU, lanjut Arief, memberikan usul Rp 30-36 juta untuk petugas yang meninggal dunia, Rp 30 juta untuk yang cacat, dan Rp 16 juta bagi yang terluka maksimal.
"Sakit ini variasi. KPU sudah membahas secara internal santunan yang akan diberikan pada mereka," kata Arief di Kantor KPU Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Senin 22 April 2019.
Sementara, Â Komisioner KPU Viryan Aziz menambahkan, total petugas KPPS yang meninggal dunia dan sakit sejumlah 667 orang.