Jelang Pilkada serentak, saat ini publik terus mendapatkan suguhan drama Operasi Tangkap Tangan (OTT)  oleh Komisi Pemberatasan Korupsi  (KPK). Tindakan KPK juga tidak selalu dianggap positif oleh semua orang apalagi orang-orang yang berada dibangku kekuasaan atau kepentingan, namun akselerasi KPK cukup pesat. Bagi mereka yang berniat korupsi atau bahkan sudah bertindak, akan merasa terusik dengan sepak terjang yang dilemparkan oleh lembaga yang akrab juga disebut anti rasuah.
Akselerasi KPK, kini sudah merambah hampir ke seluruh instansi atau lembaga yang berada di negara Indonesia. Â Mulai dari pucuk pimpinan lembaga negara, menteri, ketua partai politik, komandan korps lalulintas, pejabat tinggi direktorat jenderal, kepala daerah bahkan anggota di parlemen dengan jumlah kerugian negara mencapai triliunan rupiah.
Terlebih, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) sudah menetapkan tanggal pencoblosan pilkada serentak 2018 yaitu pada tanggal 27 Juni 2018. Pilkada serentak ini akan diikuti oleh 171 daerah seluruh Indonesia, yang di antaranya terdiri dari 17 Provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten.
Kondisi ini sudah barang tentu menjadikan tahun ini adalah tahun politik yang boleh disebut sangat panas. Bahkan lebih panas dari tahun-tahun politik sebelumnya. Oleh karenanya, pada tahun politik yang bisa disebut membara ini, KPK sangat  gencar melakukan OTT dengan menyeret nama-nama kepala daerah, sebagai pelaku korupsi.
Setelah  KPK menangkap Bupati Purbalingga,Tasdi pada OTT, Senin, 4 Juni 2018. Berikutnya, dua kader PDIP yakni Walikota Blitar Samanhudi dan Bupati Tulungagung Sahri Mulyo, juga dipaksa menyerahkan diri karena terkena kasus OTT KPK.
OTT drama atau fakta?
Namun, banyak yang bertanya, apakah OTT ini murni upaya pemberantasan hukum, atau sebaliknya, ada kepentingan politik yang memengaruhinya.
Apakah KPK sudah melakukan kinerjanya sesuai dengan SOP yang ada? Melakukan OTT tanpa kepentingan subyektif demi agenda tertentu? Bila faktanya tindakan KPK benar dan sesuai fakta, bukan sebuah drama, Â maka jelas, banyaknya pejabat daerah yang terkena OTT tidak hanya membuat pemerintahan daerah pincang akibat korupsi. Tetapi lebih jauh lagi, hal tersebut sudah menyentuh aspek yang paling mendasar, kegagalan sistem pencegahan korupsi negara.
Kembali menyoal tertangkapnya Tasdi, lalu penyerahan diri  Walikota Blitar Samanhudi dan Bupati Tulungagung Sahri Mulyo semakin melengkapi bahwa Kepala-Kepala Daerah di seluruh Republik ini sangat rentan dengan budaya korupsi. Sejatinya, Kepala  Daerah adalah cerminan dari wajah daerahnya masing-masing. Gaya kepemimpinan sangat berpengaruh kepada kredibilitas daerah pun  terhadap daerah lainnya. Jika pemimpinnya memiliki sifat atau berprestasi buruk, maka  akan memperlambat majunya seluruh persoalan daerah termasuk pola pikir masyarakat yang dipimpinnya.
Sesuai data statistik, hingga akhir 2017, KPK Â telah menangkap lebih dari 78 nama kepala daerah yang terjaring oleh komisi Antirasuah ini, yang terdiri drari 18 orang gubernur dan 60 nama Kepala Daerah atau pejabat dari kabupaten/kota. Bahkan sepanjang tahun 2016 setidaknya ada 10 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka tindak korupsi. Sementara, awal 2018 ada 7 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi. Bulan ada sepuluh kepala daerah jadi tersangka lagi.
Mengapa kepala daerah harus menjadi tersangka korupsi? Menurut KPK ada dua faktor pemicunya. Pertama, biaya politik yang cukup tinggi, membuat kepala daerah terpilih punya hutang dimana-mana dalam mendulang dukungan. Kedua, dana transfer pemerintah pusat kepada daerah sangat besar sehingga melebihi total dana yang dianggarkan. Kendati, KPK terus menangkap tangan para tersangka koruptor di area kepala daerah ini, ternyata, dari  hari kehari korupsi oleh kepala daerah tidak ada habisnya.