Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Untuk apa sembuhkan luka, bila hanya tuk cipta luka baru? (Supartono JW.15092016) supartonojw@yahoo.co.id instagram @supartono_jw @ssbsukmajayadepok twiter @supartono jw

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Melihat Geliat Sepak Bola dari Akar Rumput

10 Februari 2018   09:10 Diperbarui: 10 Februari 2018   19:27 2705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Liga Kompas Gramedia (Sumber: kompas.id)

Saat itu PSSI tetap tak bergeming, hingga memaksa saya menulis Surat Terbuka dalam majalah Garda melalui artikel dengan judul Delima Sekolah Sepakbola yang tayang pada 21 Februari 2001.

Sepakbola sebagai olahraga yang paling digemari lalu jumlah penduduk Indonesia yang besar, menjadikan wadah SSB sangat mudah dibentuk oleh organisasi hingga ke perorangan. Tidak ada standarisasi. Tidak ada yang mengawasi. Bahkan tumpang tindih ada SSB ada Akademi, ironis. Tapi dalam sebuah festival/turnamen/kompetisi yang bernama SSB dan Akademi bergabung menjadi satu. Lucu. Sebenarnya paham dan mengerti kah para pembuat wadah SSB dan Akademi itu? Berdasarkan namanya, maka filosofi dan kurikulum serta wadah mengujinya pun wajib beda. Namun, kerancuan yang terjadi, terus mengalir hingga kini, prihatin!

Wadah PSSI mandul, Individu ada loyalitas

Hingga tahun 2018, pergerakan pelatihan, pembinaan, festival, turnamen, hingga kompetisi, antar SSB/Akademi ternyata terus mengalir bagai air. Meski organisasi PSSI telah melegitimasi pembinaan SSB ada di bawah naungan Asprov, Askab, dan Askot, namun karena mandulnya wadah tersebut, maka kegiatan berbau SSB akhirnya tetap dikendalikan oleh individu penggila sepakbola dan pihak swasta yang memiliki kepedulian terhadap sepakbola akar rumput ini.

Dalam catatan saya, Jabodetabek yang dengan sendirinya, tanpa disadari, ternyata memang telah menjadi barometer pembinaan, pelatihan, hingga kompetisi sepakbola akar rumput, terus menunjukkan eksistensinya di wilayah ini.

Liga Kompas Gramedia (LKG)

Sebut saja pernah hadir Ligana Milo, yang cukup menyedot antusias saat itu, karena berjalan sendiri tanpa pesaing. Namun, munculnya Kompetisi Liga Kompas Gramedia (LKG) yang menaungi talenta muda Indonesia dibawah usia 14 tahun, kiblat kompetisi SSB menjadi milik LKG. Memang sejak kelahirannya hingga kini, LKG di bawah naungan SURAT KABAR Harian Kompas, hanya berpusat di Jakarta, namun peserta yang terdiri dari SSB se-Jabodetabek, pada dasarnya sudah rasa Indonesia, karena pemain-pemain dari berbagai SSB peserta telah mengakomidir pemian dari daerah lain seantero Indonesia.

Salut. LKG menjadi satu-satunya kompetisi yang terus menjaga kredibilitas melalui regulasinya hingga pemian jebolan LKG juga telah unjuk gigi dalam kancah Gothia Cup, turnamen usia muda Dunia.

Liga TopSkor

Setali tiga uang, bukan bermaksud untuk menyaingi namun dengan dasar melengkapi dan menyumbangkan tenaga untuk mengakomodir talenta muda Indonesia, media olahraga terlaris di Indonesia Harian TopSkor, meluncurkan Liga dengan sebutan LTS.

Bila LKG mengakomodir usia 14 tahun, maka LTS mengkomodir usia 13 tahun, 15 tahun, dan 16 tahun. Bahkan kini telah memutar kompetisi di 8 kota Indonesia. Luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun