Mohon tunggu...
Supadilah
Supadilah Mohon Tunggu... Guru - Guru di Indonesia

Seorang guru yang menyukai literasi. Suka membaca buku genre apapun. Menyukai dunia anak dan remaja. Penulis juga aktif menulis di blog pribadi www.supadilah.com dan www.aromabuku.com serta www.gurupembelajar.my.id Penulis dapat dihubungi di 081993963568 (nomor Gopay juga)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Wajah Baru MOS

20 Juli 2016   10:02 Diperbarui: 20 Juli 2016   10:07 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Dok. Pribadi

Ada yang baru pada pelaksanaan Masa Orientasi Siswa (MOS) yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari tahun ajaran baru. Setidaknya ada enam hal yang menjadi kebijakan terbaru pada era menteri Anies Baswedan yang dituangkan dalam Permendikbud nomor 18 tahun 2016 tentang Pengenalan Lingkungan Sekolah Bagi Siswa Baru. .

Pertama, MOS berganti nama  menjadi Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kemendikbud) sesuai undang-undang nomor 18 tahun 2016 bahwa pelaksanaan MPLS  Kedua, larangan pelaksanaan kegiatan MPLS oleh siswa. Pelaksana MPLS harus guru atau pengajar. Namun dalam penjelasannya, siswa masih bisa terlibat untuk membantu pelaksanaan MPLS. Jumlahnya dibatasi maksimal dua orang siswa per kelas. Ketiga, tidak boleh memakai aksesoris macam-macam dan tidak relevan dengan pengenalan lingkungan sekolah. Seperti tas karung, tas belanja plastik,kaos kaki berwarna-warni, aksesoris di kepala dan sejenisnya. Keempat, tidak boleh ada kegiatan yang tidak masuk akal seperti yang sering terjadi pada MOS dulu yaitu menghitung nasi, menghitung semut, berbicara dengan hewan, dan sejenisnya.

Kelima, tidak boleh ada hukuman fisik yang mengarah kekerasan atau merendahkan seperti menyiramkan air ke tubuh siswa, pencubitan, pemukulan, atau hukuman fisik lain yang membebani siswa. Keenam, orientasi sekolah hanya boleh dilakukan pada jam belajar, maksimal selama tiga hari dan pelaksanaannya berada di lingkungan sekolah.

Ditambah lagi dengan penguatan permendikbud nomor 82 tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penganggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan dibentuklah satuan tugas (satgas) Pencegahan Tindak Kekerasan yang terdiri dari kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua.

Orang tua pun dapat turut mengawasi dan memantau jalannya MPLS. Untuk menjamin terlaksanana pengawasan ini, kemendikbud menyediakan layanan pelaporan dengan memberikan layanan pesan singkat atau telepon kemendikbud. Luar biasa.

Secara umum format penyambutan siswa baru kali ini lebih rasional dan manusiawi. Salah satu hal yang perlu dibenahi dalam dunia pendidikan kita adalah masalah ini. Betapa MOS yang dulu dilakukan sering kali tidak masuk akal, membebani dan tidak manusiawi. Acapkali MOS dijadikan ajang balas dendam perploncoan senior kepada junior. Kekerasan pun kerap dilakukan ketika memberikan sanksi kepada siswa baru. Bahkan pada beberapa kasus terjadi aktivitas yang mengarah pada pornografi dan pornoaksi. MOS pun menjadi hal yang dinantikan oleh para senior, namun menjadi momok menakutkan bagi siswa baru.

Dengan berlakunya permendikbud ini kita berharap sedikit demi sedikit permasalahan dunia pendidikan berkurang. Mental kita harus diubah dan diperbaiki.

Mau tidak mau sekolah menaati perubahan ini. Sanksi yang diberikan cukup membuat sekolah gentar. Sekolah yang tidak mengindahkan imbauan mendikbud dapat dikenai sanksi berupa tehuran tertulis atau tindakan edukatif lainnya. Bahkan pada taraf yang lebih berat, dapat berupa penundaan atau pengurangan hak kepala sekolah hingga pembebasan tugas atau pemberhentian  sementara/tetap dari jabatan. Sanksi bagi sekolah bisa berupa pemberhentian bantuan atau penurunan level akreditasi sekolah. Dengan sanksi yang tegas seperti ini, sekolah diyakini tidak akan main-main dengan pelaksanaan MPLS.

Ditambah dengan maraknya isu penegakan HAM di sekolah, dimana siswa yang merasa mendapat perlakuan kekerasan dapat mempolisikan guru atau sekolah. Seperti kasus guru yang dipolisikan orang tua siswa yang dilaporkan karena mencubit siswa.

Tentunya perubahan ini akan menambah tugas guru karena guru-lah yang terlibat aktif sebagai panitia. Koreksinya, ini membuat siswa kurang terwadahi kesempatan untuk belajar mengelola kegiatan (MOS). Selain itu, kadang kenangan buruk itu menjadi bahan pembicaraan yang mengasyikkan sesudahnya atau ketika reuni sekolah. Namun demi mencapai sebuah tujuan yang lebih mulia, tentunya semua pihak dapat menerima kebijakan baru ini.

Sejatinya MPLS menjadi ajang untuk membantu siswa untuk beradaptasi dengan lingkungan sekolah. Kesan pertama yang didapat begitu penting. Tidak hanya untuk pekan-pekan awal masuk sekolah, tapi juga untuk keberlangsungan sekolah seterusnya. Bahkan, kesan itu akan diingat sepanjang masa. Karenanya, seharusnya yang kenang sepanjan masa adalah momen indah, dan bukan momen yang menyengsarakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun