Saidjah Adinda. Sumber gambar biem.co
Mendengar 'Saidja Adinda' tentu langsung lekat pada Lebak, Banten. Sebab roman ini memang berikatan erat dengan daerah di mana Suku Baduy ini berdiam. Maka ketika akan tayang Saidjah & Adinda (Max Havelaar By Multatuli) di tahun 2021 langsung saya berniat akan menontonnya. Tapi di mana? Sebab di Lebak sendiri kemungkinan kecil bioskop sudah beroperasi. Ya, sejak pandemi Covid-19 melanda, banyak layanan hiburan tutup. Termasuk bioskop.
Bukan saya saja yang ribut. Saat trailernya mondar mandir di grup WA, banyak pula yang penasaran menontonnya.
"Paling yang ada di Tangerang."
"Jauh, euy. Paling masih PSBB juga," timpal yang lain.
Saidjah Adinda memang ikonik bagi Lebak. Dua nama itu ada dalam roman yang dikarang oleh Multatuli alias Douwes Dekker. Nama itu pula yang dijadikan nama perpustakaan daerah di kabupaten Lebak. Perpustakaan yang berdekorasi unik itu juga bersanding dengan museum Multatuli.
Lebak sendiri punya iven tahunan yang sangat ramai, kalau tidak di masa pandemi begini, akan ada acara tahunannya. Namanya Festival Seni Multatuli (FSM). Iven ini bahkan didatangi wisatawan manca negara terutama Belanda.
Roman Max Havelaar ini memang melegenda. "Roman yang membunuh kolonialisme," tutur Pramoedya Ananta Toer. Sejarah Indonesia tentang roman perjuangan rakyat melawan penjajahan Hindia Belanda.
Roman Max Havelaar ditulis oleh Multatuli atau Edward Douwes Dekker di sebuah losmen murah di Belgia selama 1 bulan 1859. Padahal dia menulisnya 4 tahun setelah mengundurkan diri sebagai asisten residen Hindia Belanda.
Lewat kisah cinta Saidjah Adinda, Max Havelaar juga melukiskan dengan kuat berbagai penindasan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat Lebak akibat sistem feodalisme.
Bupati Lebak kala itu sewenang-wenang mengambil harta dari rakyat. Lewat kaki tangannya Bupati Lebak merampas kerbau-kerbau warga. Saidjah hendak mempertahankan kerbaunya. Tapi dituduh melawan pada penguasa.