Sebenarnya saya kurang sepakat ada yang mengidentikkan gaya parenting otoriter dengan istilah parenting VOC. Terlebih jika parenting VOC diartikan sebagai gaya pengasuhan yang menerapkan kedisiplinan dan aturan yang ketat.
Pola asuh otoriter merupakan cara orang tua dalam mendidik anak dengan aturan yang ketat, harapan yang tinggi, dan memberi hukuman. Orang tua dengan pola asuh otoriter umumnya tidak fleksibel dan ingin anak selalu memenuhi keinginan mereka.
Tetapi VOC, bila merunut pada sejarah berdirinya, yang merupakan cikal bakal negara Belanda dalam membentuk perusahaan dagang untuk melakukan monopoli perdagangan di Asia, dengan fakta akhir berujung melakukan penjajahan atas bangsa Indonesia, bolehlah disebut sebagai politik dagang yang manipulatif.
Sehingga konteks makna kedisiplinan dan aturan ketat yang dimaksud antara gaya parenting otoriter dengan gaya berdagang VOC di Indonesia, sama sekali berbeda. Edukasi dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan anak tentu sangat tidak tepat diidentikkan dengan konteks prinsip dagang yang bertujuan mencapai keuntungan.
Dalam buku-buku sejarah kemerdekaan Indonesia, istilah VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang berarti mengacu pada perusahaan dagang, tidak hanya berkesan otoriter tetapi juga memonopoli (rakus), kejam, yang pada praktiknya melaksanakan cara-cara berdagang dengan sekehendak nafsu (keluar aturan atau bukan aturan yang ketat). Lantas mengapa VOC tiba-tiba diidentikkan dengan gaya pengasuhan otoriter?
VOC disebut memiliki keistimewaan karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas serta hak-hak istimewa , seperti boleh memiliki tentara, memiliki mata uang sendiri, bernegosiasi dengan negara lain hingga hak menyatakan perang.
Keistimewaan tersebut membuat banyak pihak menyebut VOC sebagai negara di dalam negara hingga fakta sejarah menunjukkan bahwa tujuan mereka adalah menyaingi perusahaan dagang Inggris di India, EICÂ (East India Company), menguasai pelabuhan dan kerajaan-kerajaaan di Indonesia, dan memonopoli perdagangan rempah-rempah di Indonesia.
Belum lagi kebijakan yang diterapkan oleh VOC yang menimbulkan banyak kerugian bagi masyarakat Indonesia, dan lagi-lagi ujungnya adalah menjajah, menjadikan bangsa Indonesia sebagai negara koloni. Jadi pertanyaannya, di mana keidentikkan makna pola asuh otoriter yang dimaksud antara mengedukasi dan mencari keuntungan dengan menghalalkan segala cara?
Tapi baiklah, anggap saja kesepakatannya merujuk pada semangat menerapkan aturan yang ketat untuk mendisiplinkan anak. Sayangnya, dibanyak kasus, gaya pengasuhan otoriter cenderung lebih sering menciptakan anak yang bisa menjadi seorang pemberontak atau menunjukkan perilaku agresif.
Justru akibat itulah yang malah identik dengan akibat yang ditimbulkan oleh otoriter ala VOC, yaitu membuat bangsa Indonesia tidak merasa nyaman, terganggu, berperilaku agresif hingga melakukan pemberontakan atau perlawanan untuk merdeka atau bebas dari belenggu penindasan.