Seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang mampu menghadirkan ruang-ruang publik digital tanpa henti, ruang dialektika semakin terbuka luas dan masif. Dialektika kini sedang mengalami masa jaya jika tak boleh dikatakan sudah berlebihan (overdialectics).Â
Merujuk makna sederhana dialektika yang berarti hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah, dan mengambil makna dialektika menurut Hegel sebagai cara berfilsafat atau metode argumen tertentu yang digunakan pada dua hal yang dipertentangkan lalu didamaikan dengan tiga unsur atau konsep dialektika.Â
Dialektik (dialektika) berasal dari kata dialog yang berarti komunikasi dua arah, istilah ini telah ada sejak masa yunani kuno, yang kemudian disempurnakan oleh George Wilhem Friedeich Hegel dengan tiga unsur atau konsep dalam memahami dialektika yang terdiri dari tesis, antitesis dan sintesis.
Bagi Hegel, setiap tesis akan direaksi oleh antitesis, yang pada gilirannya menghasilkan sintesis. Sementara sintesis pada hakekatnya akan menjadi tesis baru sehingga pada saatnya akan mendapatkan reaksi antitesis dan berikutnya akan membutuhkan sintesis yang baru lagi.Â
Namun pada praktiknya di era digital, dialektika sering kali dibangun di luar kaidah. Tesis atau kebaruan tesis berupa antitesis yang dilemparkan ke publik digital tidak lagi melalui ruang-ruang pertentangan atau perdebatan yang diadu atau diuji berdasarkan data dan fakta, tingkat kebenaran dan otentikasi, atau dengan kata lain tak ada unsur atau konsep tesis-antitesis-sintesis yang lahir dari pertentangan dialog dua arah.Â
Dialektika yang lebih banyak terjadi di dunia digital sekarang lebih bersifat dialektika semu. Dialektika yang kerap memunculkan dialog searah dan menjadi konten viral karena narasi, argumentasi dan data yang dibangun mengandung sensasi, kontroversi, provokasi atau sentimen terhadap personal, kelompok, agama atau lainnya dengan mengedepankan atau mendalihkan logika, rasionalitas, dan ranah ilmiah sebagai basis pemikiran, tetapi isinya terindikasi menaburkan benih kebencian, bibit polemik atau perseteruan dan tidak meningkatkan kapasitas mutu akalbudi audiens.Â
Hal tersebut terjadi karena dialektika semu yang dilakukan dan dibangun oleh dua orang atau lebih, tidak melahirkan antitesa dan sintesa berdasar pertentangan komunikasi dua arah di dalamnya.Â
Tetapi kemunculannya berdasarkan apologi dua orang atau lebih yang berpaham identik. Sebuah proses lahirnya dialektika semu semacam ini di ruang digital muncul dari salah satu fenomena klipklop dan referendom.Â
Sebab klipklop dan referendom merupakan fenomena yang memungkinkan dua orang atau lebih membangun dialektika semu dalam kesamaan paham, pemikiran, kepentingan, keinginan, maksud dan tujuan yang selaras, yang salah seorang atau lebih di antaranya terindikasi mencari dukungan atau mendompleng pemikiran dari orang lainnya yang serupa dengannya. Siapakah orang-orang yang viral karena sensasi, kontroversi, provokasi atau sentimen di ruang-ruang dialektika semu ini?
Fenomena klipklop adalah kondisi ketika pengetahuan, informasi, produk, tren, ide, perilaku, kebutuhan, keinginan atau hasrat yang belum sempurna terlampiaskan atau terwujud dan tersimpan di akalbudi seseorang atau sekelompok orang dapat tersampaikan pada waktunya saat bertemu media perantaranya, momentumnya atau objek sasarannya kepada yang seharusnya.