Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mirronis, Ketika Kedekatan Belum Mampu Mewujudkan Harapan Jadi Nyata

15 November 2022   13:30 Diperbarui: 15 November 2022   13:38 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari di tahun 2018, saya ditanya oleh seorang gadis berparas ayu, "Jika kelak menikah  akan tinggal di mana dengan istrimu?". Saya diam. Sampai hari itu diusia yang sudah masuk paruh baya saya memang belum memiliki rumah tinggal sendiri. Satu-satunya tempat tinggal yang bisa saya tempati adalah rumah warisan orang tua dengan kondisi yang terbilang sudah tidak layak huni. Rumah tersebut merupakan peninggalan orang tua saya untuk sembilan anaknya. Tentu saja saya tidak punya hak penuh atas rumah itu. Pertanyaan gadis berparas ayu kemudian memunculkan pertanyaan dalam benak saya, disebut apa seseorang yang begitu dekat dengan penjual minyak wangi tetapi jangankan memilikinya, wanginya saja tidak pernah tercium dari tubuhnya?

Korelasi dari pertanyaan gadis berparas ayu dan pertanyaan dalam benak saya dengan kenyataan sebenarnya adalah hendak mencari tahu, disebut apakah seseorang yang sangat dekat dengan ilmu bangunan atau dunia arsitektur tetapi jangankan memiliki rumah, akses untuk memilikinya saja belum pernah didapat. Juga pertanyaan-pertanyaan selaras untuk orang-orang yang dekat dengan sesuatu tapi tidak atau belum bisa memiliki atau mendapatkannya.

Sebagian besar dari kita barangkali telah mengetahui bahwa kutipan tentang seorang penjual minyak wangi adalah pesan untuk menggambarkan pertemanan yang bisa mendatangkan kebaikan. Namun kali ini kutipan itu saya ambil untuk mempertanyakan bagaimana bila kenyataan tidak sesuai harapan. Bagaimana bila dekat dengan penjual minyak wangi ternyata wanginya saja tidak didapat? Bagaimana bila sangat dekat dengan segala hal tentang rumah nyatanya akses untuk memilikinya saja tidak kunjung tiba? Dan bagaimana lainnya untuk orang-orang yang akrab dengan sesuatu namun tidak memiliki, mendapatkan atau merasakannya? Sebutan apa yang pantas disematkan?

Sejak dua puluh tahun lalu saya sudah sangat dekat dengan ide atau gagasan dan karya-karya ilmu bangunan. Kedekatan saya dengan ilmu bangunan dimulai sejak tahun 1997. Ketika itu saya bekerja sebagai tenaga maketor (pembuat maket) pada sebuah perusahaan yang bergerak di bidang arsitektur dan interior. Namun saat itu saya hanya mengerjakan bagian-bagian aksesoris atau perabot miniaturnya saja. Semacam kasur, sofa, meja, lemari, televisi dan benda-benda isi rumah lainnya yang berukuran mini.

Dipekerjaan berikutnya di tahun 2001, saya  mengenal proses panjang mendirikan sebuah bangunan. Saya bekerja sebagai staf administrasi di sebuah studio arsitektur. Sebagian besar pekerjaan saya adalah mendata dan mengarsip. Data yang saya administrasi dan kemudian diarsipkan meliputi tugas-tugas mata kuliah estetika, desain, sketsa, manajemen proyek, perancangan, teknologi bangunan, struktur dan lainnya, terutama tugas akhir arsitektur. Semua pekerjaan itu memberi pengetahuan bahwa proses panjang berdirinya sebuah bangunan ternyata tidak sesederhana seperti apa yang selama ini saya duga. Oleh karena sebuah hunian harus ditinjau dan diselesaikan dari berbagai aspek, seperti struktur tanah, lokasi, aturan IMB, KLB, KDB dan GSB, utilitas, lingkungan, estetika, status hukum tanah yang hendak dibangun dan lainnya.

Dua puluh tahun lebih bekerja di studio arsitektur, telinga saya telah akrab dengan berbagai istilah dunia arsitektur. Istilah beragam gaya arsitektur misalnya, seperti arsitektur klasik, modern, minimalis, kontemporer, rustic, industrial dan scandinavian. Berikutnya istilah arsitektur tradisional, teknologi, tropis, hijau, berkelanjutan dan lainnya. Kemudian istilah kolom, ruang, fasad, balkon, void, mezzanine, rooftop, hoek, kanopi dan lainnya. Menyusul kedekatan dengan produk-produk pendukung arsitektur semacam Toto, AM, Knauf, Nippon Paint, Mowilex,  Jotun, Niro Granito, Essenza, Roman, beraneka produk interior dan eksterior serta produk pendukung lainnya.

Saya juga mengenal beberapa nama besar developer properti serta konsultan arsitektur dan interior desain ternama. Termasuk pula beberapa nama yang dikenal sebagai arsitek seperti Ridwan Kamil, Budi Pradono, Yori Antar, Cosmas Gozali, F.S. Silaban, Y.B. Mangunwijaya, Andra Matin, Ahmad Djuhara, Zaha Hadid, Le Corbusier, Frank Lloyd Wright, Muhammad Egha dan beberapa lainnya. Beberapa nama tersebut diantaranya pernah diundang sebagai  pembicara di tempat saya bekerja. Nama terakhir adalah salah seorang pendiri Delution Company yang merupakan lulusan dari tempat saya bekerja.  Sebuah konsultan arsitektur dan interior desain sukses yang mendunia dan pernah diundang pada acara popular talk show Kick Andy. Hanya saja, dari kedekatan saya dengan segala hal yang berbau arsitektur, saya masih belum memiliki rumah sendiri. Miris.

Di bulan Oktober 2020, sebuah email masuk ke inbox mail saya. Isinya penawaran hunian harga menarik program khusus karyawan (Special Employee Benefit Program). Penawaran datang dari Sinar Mas Land. Ada tiga hunian yang ditawarkan di dalamnya; Southgate TB. Simatupang, Aerium Apartment dan The Elements. Ketiganya berjenis hunian vertikal. Tertera harga mulai dari 1.1 M untuk Southgate, 2.8 M untuk Aerium dan 4.8 M untuk The Elements. Melihat tingginya harga hunian vertikal tersebut tentu saja tawaran tidak saya respon.

Tetapi tujuh bulan sebelumnya, pada bulan Maret 2020 saya dan istri sibuk mencari hunian layak harga. Dengan percaya diri dan bekal simpanan yang tak seberapa, kami mulai mencari hunian-hunian bersubsidi di wilayah Parung-Bogor. Ketika itulah untuk pertama kalinya saya membuka akses di dunia arsitektur demi memiliki rumah layak huni. Sebuah hunian yang kami harapkan segera bisa dimiliki untuk menjadi tempat beristirahat, berbagi cerita, berusaha menolak duka merangkai suka. Di dalamnya, perlahan kami akan membangun keluarga sehat lahir dan batin, berupaya tanpa jeda memerhatikan tumbuh kembang anak kami kelak, membina dan mendidiknya serta membentuk  keluarga bahagia dan sejahtera. Sebuah harapan yang barangkali sama dengan milyaran keluarga lain.

Beberapa hunian bersubsidi kami datangi. Harga kontan yang dtawarkan antara 130-160 juta. Sedang jika mengambil sistem cicilan, uang muka yang ditawarkan antara 8-35 juta. Sementara bekal simpanan yang kami punya berada di posisi uang muka tawaran terendah. Dari sekian banyak daftar perumahan yang kami kunjungi ada sekira dua perumahan dengan uang muka dan cicilan perbulan yang mampu kami penuhi. Istri saya menolak keduanya karena lokasi tidak memenuhi harapan. Selain itu ternyata ada poin lain yang belum bisa memenuhi syarat pengajuan kredit.

Di akhir bulan Oktober uang simpanan yang kami sisihkan dari gaji selama setahun habis untuk berbagai kebutuhan. Terutama untuk kebutuhan anak pertama kami yang lahir di bulan September 2020. Bayangan saya untuk memiliki tempat tinggal sendiri dan mempersembahkannya untuk istri dan anak, sementara masih menguap pergi. Lalu benak saya bertanya lagi, mengapa kedekatan saya dengan dunia arsitektur belum memberi kemudahan bagi saya untuk memiliki rumah tinggal sendiri yang layak huni? Ironis.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun