Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu... -

Mencari dan mencari terus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Martabak Seleraku

1 Juni 2016   17:32 Diperbarui: 1 Juni 2016   17:48 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Akhir-akhir ini saya lagi gandrung pada martabak bangka. sampai sy bagaikan melakukan survei kecil-kecilan. beberapa penjual martabak saya kunjungi dan beli. di taman cibodas, pasar lama, citra raya, cimone, itu yg dianggap martabak bangka asli yg jualnya juga di kios atau ruko.

 tapi beberapa tukang martabak pinggir jalan yg pakai gerobak juga tak luput dari "survei" saya. di kaca gerobak martabak pinggir jalan juga biasanya tertulis "martabak bangka".tapi orang dah maklum, bahwa itu bukan martabak bangka asli. alias kw 2 atau kw 3. sebab jika diusut-usut kebanyakan penjualnya dari lebaksiu, tegal. selain martabak bangka dan martabak dari tegal, juga dikenal martabak malabar, bandung. itulah setidaknya sekelumit tentang dunia kemartabakan.

 setidaknya ada tiga daerah asal muasal tukang martabak yg meramaikan dunia permartabakan di jabodetabek. bangka daerah di provinsi bangka belitung, daerahnya Ahok yg juga lagi meramaikan dki jakarta tapi di dunia politik. kemudian bandung dan tegal. image masyarakat dari tiga daerah itu barangkali yg kulturnya paling halus bandung. hanya image masih perlu pembuktian yg lebih akurat. nah itu baru soal martabak.

 nah, ada sederetan ruko merupakan tempat menjajakan kuliner. dari paling pojok kiri warung masakan pandang, sebelahnya pempek palembang, disusul soto kudus, kemudian gudeg jogja, bakso malang, mie aceh, dan sudah barang tentu warteg. ketika karyawan pabrik istirahat mereka berhamburan dan masuk ke warung-warung tersebut. mereka memilih makanan sesuai selera tanpa ditanya asalnya dari mana, suku dan agamanya apa.

 kembali ke soal martabak, martabak bangka yg selalu saya idamkan, rata-rata rasanya terlalu manis, tentu menurut ukuran lidah saya. maka dari berbagai tempat penjual martabak ternyata lidah saya lebih cocok dengan martabak yg dijual di pinggir salah satu jalan. memang soal selera ga bisa dipaksakan, atau buat gaya-gaya, biar dibialng keren. sehingga orang ga pernah ribut gara-gara beda selera makanan. yg bikin ribut adalah cara cari makan. terutama di jagat politik, beda agama dan budaya dibikin 

alasan untuk ribut. 

 lha mending makan martabak, kali ini rasa duren, kacang, dan coklat. icip icip.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun