"Oh iya nak.... Matahari sudah tinggi saya mau pergi melaut dulu" ucapan penutup lelaki paruh baya yang berprofesi sebagai nelayan itu.
Saat lelaki melayang itu mengibaskan dayungnya membela lautan pandangan saya menyerah ke langit lalu bergumam "Yaaa Tuhan ampuni tangan-tangan manusia yang merusak laut ciptaanmu"....
Begitulah realita laut kita hari ini, laut seharusnya dirawat untuk kelangsungan hidup dan generasi ke depannya malah dihancurkan generasi yang ada saat ini.
Namun tak elok juga rasanya menyalahkan masyarakat yang melakukan pemboman ikan di laut, tanpa menyoroti kinerja pemangku kebijakan pemerintah setempat baik itu Pemerintah desa maupun Pemerintah Kabupaten.
Laut harusnya menjadi titik perhatian kedua pemegang jantung kebijakan ini agar laut tetap lestari dan biota serta keragaman hayati yang ada di laut tetap terjaga dan terlindungi.
Namun ironisnya dengan kondisi dunia hari ini yang mengharuskan pembangunan itu difokuskan ke darat hingga melupakan lautan walau pada dasarnya laut adalah sumber kehidupan orang-orang di darat
Dari Pemerintah Kabupaten, pemerintah Kecamatan, Pemerintah desa, tak ada program yang menyentuh bagaimana menghidupkan kembali biota-biota yang ada di laut termasuk karang-karang yang telah mati rumah-rumah ikan yang telah hancur di adakan pemulihan kembali melalui program pemerintah.
Sulit rasanya zaman sekarang kembali membangun kerangka keanekaragaman hayati biota laut sebab penilaian itu selalu diperoleh dari dalam bukan di laut yang pada akhirnya timbul suatu anggapan "surga di darat neraka di laut"
Pembangunan memang selalu tebang pilih apalagi yang membangun hanya ingin memperbesar nama dan perutnya bukan untuk kemaslahatan makhluk hidup melainkan untuk memberi asupan nutrisi arogansi nafsu manusia itu sendiri.
Maka tak heran bila diamnya lautan seolah tiba-tiba berubah menjadi ombak yang naik menggulung daratan. Sebab laut hanya dijadikan sapi perah dikeruk hasilnya tanpa dipikirkan bagaimana laut itu tetap dan biota laut di dalam hidup berkelimpahan.