Di tengah dinamika pembangunan nasional yang terus mengedepankan investasi sebagai motor penggerak ekonomi, forum "Sustainability Talk" yang diselenggarakan oleh Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (SIL UI) dan Emil Salim Institute(ESI) hadir sebagai ruang kritis untuk merefleksikan kembali arah pembangunan Indonesia dari sudut pandang keberlanjutan. Forum dengan tema: "Sustainability Talk: Mengakselerasi Implementasi Sustainability -- Sinergi untuk Masa Depan Indonesia", diselenggarakan pada Kamis (12/6/2025) di kampus UI Salemba, Jakarta. Forum ini bukan hanya menjadi medium akademik, namun juga menjadi suara nurani ekologis bangsa yang merespons berbagai krisis lingkungan yang kian menganga.
Bagi SIL UI, acara ini bukan sekadar memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan Dies Natalis ke-9 SIL-SKSG, melainkan momentum reflektif dan kritis untuk meninjau arah keberlanjutan pembangunan Indonesia di tengah berbagai ancaman ekologis yang semakin nyata, yang ditandai dengan meningkatnya tekanan terhadap lingkungan hidup akibat investasi eksploitatif dan lemahnya kontrol kebijakan. Oleh karena itu, "Sustainibility Talk" berusaha untuk menyuarakan keprihatinan dan keberanian: sudah waktunya kita bersikap tegas terhadap praktik pembangunan yang hanya mementingkan investasi jangka pendek, tapi mengorbankan masa depan ekologis bangsa.
Dalam forum tersebut, Roosdinal Salim, Ketua Dewan Pembina Emil Salim Institute  menyentil minimnya keberpihakan akademisi terhadap keberlanjutan yang nyata. Dia menegaskan bahwa tanggung jawab akademik harus dijalankan secara tegas dan ilmiah. Akademisi dan lembaga pendidikan lingkungan tak bisa lagi berdiri di zona abu-abu. "Jangan hanya lihat tambangnya. Lihat dampak sustainability-nya!" ucapnya. Roosdinal hendak menempatkan sustainability sebagai prinsip dasar pembangunan yang seharusnya memandu arah kebijakan dan investasi nasional---bukan hanya jargon politik. Dan memang benar, keberpihakan terhadap lingkungan bukan pilihan netral, melainkan pilihan moral dan intelektual.
Sementara itu, Prof. Dr. Drs. Supriatna, M.T., Direktur SIL UI mengajak kita semua untuk membangun sinergi kritis---kerja sama lintas sektor yang tidak sekadar mengikuti arus, tapi mampu mengevaluasi dan memperbaiki arah pembangunan. Ia mendorong agar sains menjadi dasar pengambilan keputusan, bukan sekadar alat pembenaran proyek-proyek besar yang merusak ekosistem dan merampas hak hidup masyarakat lokal. Prof. Supriatna percaya bahwa sinergi kritis lintas sektor merupakan pendekatan solutif untuk menjawab krisis lingkungan. Untuk itu, dia mendorong agar paradigma pembangunan dievaluasi total, dan diganti dengan pendekatan ekologis berbasis keadilan dan partisipasi komunitas. Menurutnya, keberlanjutan tidak bisa dicapai tanpa reformasi nilai dalam proses pengambilan keputusan, di mana sains dan integritas akademik menjadi pilar utama.
Raja Ampat adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati laut dunia, yang menjadi rumah bagi lebih dari 500 spesies karang dan 1.500 jenis ikan. Panorama surga biodiversitas laut dunia kini pudar sudah, lantaran eksploitasi tambang nikel yang tidak memperhatikan prinsip keberlanjutan. Pulau-pulau kecil yang selama ini menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati laut dunia justru kini diincar sebagai lahan tambang nikel. Ironis? Tentu. Tapi inilah wajah pembangunan kita hari ini---dibalut jargon "kemajuan", namun menelantarkan prinsip keberlanjutan.
Sebagai kawasan konservasi prioritas global, Raja Ampat seharusnya menjadi simbol komitmen Indonesia terhadap perlindungan keanekaragaman hayati laut. Namun kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. Kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia dan dijuluki "Amazon of the Seas" itu, kini menyimpan luka ekologis yang menganga akibat dari aktivitas pertambangan yang mencemari tanah dan air, merusak terumbu karang, serta mengancam sistem pangan lokal masyarakat adat.
Greenpeace bersama pemuda Raja Ampat mengungkapkan bahwa aktivitas tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran, telah menghancurkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi khas lokal. Ketiga pulau tersebut tergolong pulau kecil yang menurut undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil seharusnya dilarang untuk kegiatan pertambangan. Analisis Greenpeace juga menunjukkan bahwa deforestasi dan penggalian di pulau-pulau tersebut menyebabkan limpasan tanah (soil runoff), yang menimbulkan kekeruhan dan sedimentasi di perairan pesisir---mengancam langsung terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat yang sangat rentan (Greenpeace, 2025). Laporan Greenpeace tersebut bukan sekadar statistik pencemaran, melainkan soal hilangnya akses masyarakat terhadap sumber pangan dan ruang hidup yang selama ini menjadi tumpuan mereka.
Ketika tanah tak lagi subur dan laut menjadi keruh, keberlanjutan bukan lagi isu lingkungan---tapi soal keberlangsungan hidup manusia. WALHI Papua melaporkan penurunan signifikan dalam produktivitas pertanian dan perikanan masyarakat di sekitar tambang akibat kontaminasi tanah dan air oleh residu tambang. Meskipun belum tersedia angka persis dari publikasi resmi, WALHI meyakini, penurunan produksi pertanian dan perikanan tersebut adalah akibat dari kontaminasi dan kerusakan ekosistem. Di titik ini, sustainability bukan lagi konsep abstrak, tapi menjadi urusan dapur dan keberlangsungan hidup masyarakat.
Kerusakan lingkungan di Raja Ampat bukan hanya sebuah tragedi ekologis, tetapi juga refleksi dari model pembangunan Indonesia yang sarat eksploitatif dan minim kontrol, sehingga menjadikan wilayah adat sebagai tumbal kepentingan investasi ekstraktif. Selain merusak sumber daya alam, dampaknya menjalar ke sektor produksi pangan. Ini membuktikan bahwa eksploitasi telah merusak ekosistem sekaligus merampas hak atas pangan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat. Ironisnya, praktik ini dilegalkan dalam kerangka pembangunan nasional, yang mengabaikan prinsip sustainability development.