PayLater kini menjadi fitur wajib di berbagai aplikasi yang menyasar anak muda. Mulai dari e-commerce, transportasi online, layanan pesan antar makanan, hingga aplikasi gaya hidup, semuanya menawarkan opsi beli sekarang bayar nanti. Seolah tak ingin kehilangan momentum generasi digital, berbagai platform bersaing menciptakan skema cicilan instan, tanpa kartu kredit, tanpa syarat ribet. Bagi mahasiswa atau pekerja muda, godaan ini sulit diabaikan: dalam satu sentuhan, barang impian sudah di tangan.
Masalahnya, kemudahan ini menciptakan ilusi finansial. Anak muda merasa tak mengeluarkan uang karena pembayaran ditunda. Padahal, komitmen finansial tetap melekat dan bahkan bisa membesar karena bunga atau denda keterlambatan. Akibatnya, kesadaran akan kemampuan finansial pribadi kian kabur. Mereka merasa mampu karena tidak langsung membayar, bukan karena memang punya dana.
Di tengah derasnya promosi dan tampilan user interface yang serba "ringan", batas antara kemampuan dan keinginan menjadi bias. Budaya konsumtif makin mudah tumbuh, apalagi dalam ekosistem digital yang didesain untuk memicu keputusan impulsif. Sebuah notifikasi diskon atau pop-up cicilan bisa dengan cepat menggoda siapa saja yang sedang penat, butuh reward diri, atau sekadar ingin "ikut tren".
Fenomena ini tidak hanya soal pilihan konsumsi, tapi menyangkut pola pikir finansial generasi muda. Dalam banyak kasus, mereka tidak menganggap PayLater sebagai utang, melainkan sebagai fitur canggih gaya hidup. Ini berbahaya karena memotong satu tahap penting dalam pengambilan keputusan: refleksi atas risiko dan tanggung jawab.
Saat budaya konsumtif digital bertemu dengan rendahnya literasi keuangan, maka yang lahir bukan sekadar gaya hidup praktis, melainkan jalan sunyi menuju jebakan finansial. Di sinilah "bom waktu" itu mulai ditanam---perlahan tapi pasti.
Dari Tunggakan Kopi Susu hingga Galau di DC
Bayangkan seorang mahasiswa yang terbiasa membeli kopi susu setiap sore lewat aplikasi pesan antar. Total belanja per minggu hanya sekitar 50 ribu rupiah. Karena tersedia PayLater, dia tidak langsung membayar. Minggu berganti, jumlah tagihan menumpuk hingga ratusan ribu. Saat jatuh tempo, dia lupa membayar. Dikenakan denda. Bulan berikutnya, ia tetap menggunakan PayLater untuk hal-hal kecil lainnya. Akumulasi utang dimulai.
Kasus ini bukan cerita fiksi. Banyak anak muda memulai jeratan utang dari transaksi mikro seperti kopi, ojek, atau camilan malam. Mereka merasa aman karena nominalnya kecil. Namun, ketika terlambat membayar, denda harian bekerja seperti bunga liar yang terus tumbuh. Di titik ini, ketidaktahuan soal struktur bunga dan penalti menjadi jebakan nyata.
Dalam kondisi mendesak, sebagian mulai panik. Mereka mencari jalan cepat: mengaktifkan PayLater di platform lain untuk menutup tunggakan sebelumnya. Inilah awal dari skema "gali lubang tutup lubang" versi digital. Sayangnya, mekanisme ini jauh dari solusi. Saat jumlah platform meningkat, pemantauan utang makin sulit, dan jeratan makin dalam.