Fenomena "mental load" atau beban mental dalam rumah tangga semakin banyak disorot, khususnya di kalangan pasangan muda yang baru saja memiliki anak.Â
Mental load mencakup beban pikiran tak kasatmata: siapa yang harus membeli popok, jadwal imunisasi anak, apa menu makan malam hari ini, hingga rencana sekolah anak dua tahun ke depan.Â
Beban ini kerap menumpuk pada satu pihak---umumnya ibu---yang merasa selalu harus "mengatur dan mengingat segalanya", bahkan ketika secara teknis tugas-tugas rumah tangga dilakukan bersama.Â
Beban ini melelahkan bukan karena fisik semata, tetapi karena tuntutan untuk terus berpikir, merencanakan, dan mengantisipasi hal-hal yang menyangkut rumah dan anak.
Banyak istri muda yang mengalami kelelahan emosional bukan karena kurangnya bantuan fisik dari suami, melainkan karena harus menjadi "manajer" rumah tangga yang tak pernah absen dari pikiran. Beban pikiran ini menimbulkan ketidakseimbangan yang menyakitkan, sehingga istri selalu merasa sendirian dalam mengurus segala sesuatu meskipun suami merasa sudah "membantu".
Dalam relasi pasangan muda yang sama-sama bekerja, beban mental ini semakin kompleks karena ditumpuk di atas pekerjaan profesional yang juga menyita energi dan pikiran. Akibatnya, konflik pun rentan muncul, bukan karena kurang cinta, tapi karena terlalu lelah untuk mencintai dengan utuh.
Beban mental ini juga berakar pada konstruksi sosial yang telah lama memosisikan perempuan sebagai "pusat rumah tangga" meski zaman telah berubah. Banyak pasangan muda ingin menerapkan kesetaraan, namun realitanya, sistem dukungan sosial dan pola asuh dari keluarga besar masih condong membebani perempuan.
Misalnya, ketika anak sakit, yang pertama kali dihubungi sekolah adalah ibu. Atau ketika mertua datang berkunjung, yang dinilai adalah keterampilan istri dalam mengatur rumah. Maka, meski suami punya niat baik, perempuan tetap terjerat dalam jebakan tanggung jawab laten.
Mengurai mental load tidak sekadar membagi tugas rumah tangga secara adil, tetapi juga menyadari dan menghargai kerja kognitif dan emosional yang selama ini tidak terlihat. Komunikasi terbuka menjadi fondasi penting untuk mencegah penumpukan frustrasi yang sering kali berujung pada ledakan emosi atau silent treatment.
Pasangan perlu saling belajar untuk mengenali beban yang mental tidak selalu tampak dari luar. Salah satunya adalah dengan bertanya, "apa yang sedang kamu pikirkan hari ini?", selain pertanyaan rutin, " apa yang bisa aku bantu?" Ketika pasangan --terutama suami-- ikut merasakan dan memahami tekanan ini, maka rumah tangga pun menjadi ruang bersama, bukan ladang beban yang timpang.