Berita yang bertajuk: "Bahas Pangan dan Pupuk Murah, Bill Gates Tertarik Potensi Pisang di Indonesia" dari Kabarpangan.com (7/5/2025) membawa harapan baru bagi ketahanan pangan Indonesia. Pendiri Bill & Melinda Gates Foundation, Bill Gates tertarik untuk mengembangkan potensi pisang dan komoditas pertanian Indonesia yang lainnya. Gates menyebut bahwa keragaman genetik pisang di Indonesia merupakan aset berharga yang bisa dikembangkan untuk meningkatkan ketahanan tanaman dan hasil panen.
Melalui yayasannya, Bill Gates bersedia mendukung pengembangan sektor pertanian Indonesia sebagai fondasi penting dalam meningkatkan hasil panen dan stabilitas produksi pertanian, terutama pisang.
"Kami berusaha membuat benih lebih produktif, memahami tanah, dan membuat pupuk lebih tepat guna, lebih murah," ujarnya.
Diplomasi Pangan: Bahasa Baru di Meja Global
Pertemuan antara  tokoh filantropi global Bill Gates dengan Presiden Prabowo Subianto  pada awal Mei ini bukanlah peristiwa biasa. Di tengah dinamika geopolitik dan krisis iklim, agenda yang dibahas dalam pertemuan ini justru menempatkan isu pangan murah, pupuk berkelanjutan, dan potensi pisang Indonesia sebagai sorotan utama. Ini menandai babak baru dalam praktik diplomasi: bukan lagi semata-mata kekuatan militer, investasi, atau teknologi tinggi, melainkan pangan sebagai alat diplomasi progresif. Dalam pendekatan ini, pangan menjadi komoditas ekonomi sekaligus instrumen pengaruh, solidaritas, dan kedaulatan yang bisa ditawarkan Indonesia ke dunia.
Penggunaan pisang sebagai simbol dalam pertemuan ini menambah lapisan makna. Dalam diplomasi, simbolisme sangat penting. Pemberian pisang Cavendish kepada Gates bukan sekadar gestur kesopanan, melainkan pernyataan diplomatik Indonesia bahwa negara ini punya sesuatu yang bisa ditawarkan untuk menjawab problem global---dari gizi, iklim, hingga akses pangan. Simbol ini memperkuat narasi bahwa diplomasi masa depan adalah diplomasi yang menyentuh perut rakyat, bukan hanya angka-angka ekonomi.
Dengan mengangkat pangan sebagai topik utama, pertemuan ini sekaligus menjadi kritik terhadap diplomasi klasik yang tak lagi relevan menghadapi tantangan abad ke-21. Ketika perang dan persaingan teknologi memperuncing ketimpangan global, justru kebutuhan dasar seperti makan sehat dan harga pangan yang stabil menjadi agenda paling genting. Indonesia, melalui pertemuan ini, mengusulkan skema diplomasi yang lebih manusiawi dan solutif, dengan pendekatan agroekologi dan keberlanjutan.
Panggung dunia butuh aktor baru yang mampu menjembatani kepentingan global dengan kebutuhan rakyat. Prabowo dan Gates, lewat medium pisang, memperlihatkan cara baru untuk mendekati persoalan global: bukan dengan konfrontasi, tapi kolaborasi berbasis pangan. Ini adalah diplomasi yang bisa dimengerti oleh petani, ilmuwan, hingga pemimpin negara---karena pada akhirnya, semua manusia makan.