Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mewajibkan suami melakukan vasektomi sebagai syarat untuk memperoleh bantuan sosial telah memantik gelombang kritik dari berbagai pihak. Kebijakan ini tidak hanya menyangkut persoalan teknis administrasi, tetapi juga menyentuh ranah privat dan biologis manusia. Ketika tubuh, seksualitas, dan hak reproduksi menjadi bagian dari transaksi politik kesejahteraan, muncul pertanyaan besar: sampai sejauh mana negara boleh mencampuri kehidupan paling intim warganya?
Kebijakan ini menjadi kontroversial karena menyatukan tiga isu besar yang seringkali tidak diletakkan dalam satu meja perdebatan: seks, kemiskinan, dan kekuasaan negara. Pemerintah sebagai entitas publik, yang bertugas menjamin hak-hak dasar warga, justru mempersyaratkan penghilangan hak biologis untuk mengakses bantuan hidup. Di sini terlihat dengan jelas bagaimana kuasa atas tubuh menjadi alat tukar dalam relasi yang timpang antara negara dan rakyat miskin.
Permasalahan ini mengangkat kembali diskusi klasik tentang relasi antara negara dan warga negara dalam ranah kebijakan publik. Jika bansos adalah hak setiap warga miskin, mengapa harus dibarter dengan kemandulan permanen? Di titik inilah kebijakan vasektomi bagi para penerima bantuan sosial atau bansos menyentuh aspek pelanggaran hak asasi manusia karena negara tampak mengambil alih kendali atas keputusan personal.
Tesis utama dari catatan untuk KDM ini adalah bahwa kebijakan vasektomi sebagai syarat bantuan sosial merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya hak untuk berkembang biak, hak atas tubuh, dan hak untuk menjalani kehidupan seksual secara sehat dan bermartabat. Kebijakan ini mencerminkan cara negara menyensor dan mengontrol hasrat warga, terutama yang hidup dalam kemiskinan. Oleh karena itu, menjadikan vasektomi sebagai syarat untuk mendapatkan bansos merupakan tindakan diskriminatif karena eksistensi vasektomi dan bansos tidak setara.
Lebih dari sekadar kebijakan teknokratik, keputusan ini menunjukkan bagaimana tubuh-tubuh warga miskin menjadi arena kekuasaan yang sah bagi negara, dibungkus dalam bahasa modernisasi, pengendalian penduduk, dan efisiensi kesejahteraan.
Perut atau Keturunan? Dilema Ganda Warga Miskin
Bagi warga miskin, tubuh mereka sering kali menjadi objek intervensi kebijakan yang tidak memberi ruang negosiasi. Dalam konteks vasektomi sebagai syarat bansos, negara seolah memaksa mereka memilih antara dua kebutuhan yang sama-sama mendasar: menyambung hidup hari ini atau menjaga hak untuk memiliki anak di masa depan. Ini adalah dilema ganda yang tidak adil.
Bayangkan seorang buruh bangunan dengan tiga anak dan istri yang tidak bekerja. Ia ditawari bansos dengan syarat melakukan vasektomi. Apakah ia sungguh punya pilihan? Dalam narasi ini, kita melihat wajah paling telanjang dari kebijakan populasi koersif: relasi kuasa yang timpang, di mana pihak yang lemah harus menyerah karena kondisi ekonomi.
Kebijakan ini secara langsung mereduksi manusia menjadi angka. Negara tidak lagi melihat warga sebagai pribadi yang utuh dengan impian, tradisi, dan nilai hidup. Mereka menjadi "data demografis" yang harus dikendalikan demi kestabilan ekonomi dan politik, mengabaikan dimensi kemanusiaan yang melekat pada hak untuk bereproduksi.