Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan keragaman hayati terbesar di dunia, termasuk dalam sektor pangan. Dari beragam jenis beras, umbi-umbian, sagu, hingga beragam rempah, kekayaan pangan Nusantara menjadi cerminan kekayaan budaya dan ekologi bangsa. Namun, dalam dunia yang kian mengglobal, pangan tak lagi hanya sekadar memenuhi kebutuhan dasar, melainkan juga menjadi bagian penting dari diplomasi budaya dan politik global. Negara-negara mulai memahami bahwa identitas nasional dapat diperkenalkan dan diperkuat lewat cita rasa yang unik dan cerita di baliknya.
Dalam konteks ini, muncul istilah soft power, yaitu kekuatan yang bersumber dari budaya, nilai, dan daya tarik suatu negara daripada paksaan militer atau ekonomi. Joseph Nye, pencetus konsep ini, menjelaskan bahwa makanan, musik, dan budaya pop kini menjadi alat ampuh membangun pengaruh global. Bagi Indonesia, pangan Nusantara memiliki potensi besar untuk menjadi elemen soft power yang mampu meningkatkan daya saing bangsa di mata dunia.
Pemerintahan Prabowo Subianto menyadari pentingnya posisi strategis pangan dalam percaturan internasional. Selain mengusung program ketahanan pangan nasional, terdapat peluang untuk menjadikan pangan lokal sebagai alat diplomasi budaya yang memperkuat citra positif Indonesia. Hal ini sejalan dengan visi membangun kedaulatan pangan sekaligus memperkenalkan keunikan budaya bangsa kepada dunia.
Selanjutnya, keragaman pangan Nusantara dapat dioptimalkan sebagai instrumen diplomasi budaya dan ekonomi di era pemerintahan Prabowo. Dengan soft power berbasis pangan ini, kita akan melihat bagaimana rasa dan cerita bisa menjadi ujung tombak kekuatan Indonesia di tingkat global.
Politik Pangan Era Prabowo
Pemerintahan Prabowo Subianto menempatkan ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas utama. Fokus utamanya adalah memperkuat produksi pangan dalam negeri, mengurangi ketergantungan impor, serta mengembangkan keragaman sumber pangan lokal. Arah kebijakan ini membuka peluang untuk menggunakan kekayaan pangan lokal sebagai bagian dari diplomasi budaya Indonesia di dunia internasional.
Diversifikasi pangan yang dicanangkan pemerintah bertujuan memperluas basis konsumsi masyarakat, tidak hanya pada beras, tetapi juga pada komoditas lokal seperti sagu, jagung, sorgum, dan berbagai umbi-umbian. Langkah ini penting untuk memperkuat ketahanan dalam negeri, namun juga memperkaya narasi budaya yang dapat dibawa keluar negeri. Optimalisasi pangan lokal akan mempersiapkan masyarakat Indonesia menghadapi tantangan krisis pangan sekaligus membangun cerita unik yang dapat dipasarkan secara global.
Dalam konteks ini, pangan tidak sekadar bagian dari stabilitas nasional, melainkan instrumen untuk memperluas pengaruh budaya Indonesia di dunia. Pangan diposisikan sebagai aset strategis yang menggabungkan diplomasi ekonomi, promosi budaya, dan kerja sama perdagangan internasional yang berbasis produk pangan unggulan.