Selama ini, makanan kerap dipahami sebatas kebutuhan biologis: untuk kenyang, tumbuh, dan tidak sakit. Namun, dalam konteks pendidikan karakter, makanan sesungguhnya bisa menjadi media yang sangat kuat dalam membentuk kepribadian anak. Dari cara memilih bahan, menyajikan makanan, hingga bagaimana anak makan dan berbagi dengan orang lain---semuanya menyimpan nilai-nilai yang membentuk watak dan pola pikir. Makan bukan hanya kegiatan fisik, tapi juga proses kultural, sosial, dan bahkan spiritual yang bisa dimanfaatkan dalam ranah pendidikan.
Dalam berbagai budaya, terutama masyarakat agraris seperti Indonesia, makan adalah ritus sosial yang menyatukan keluarga, komunitas, dan nilai-nilai hidup.Â
Sayangnya, dalam sistem pendidikan kita, makan justru menjadi aktivitas yang nyaris tak tersentuh oleh kurikulum. Ia hanya muncul dalam pelajaran IPA atau prakarya, itu pun sekilas dan tanpa dimensi karakter yang utuh.Â
Padahal, pembiasaan makan yang baik, sehat, dan penuh makna bisa membantu membentuk anak yang lebih disiplin, peka terhadap lingkungan, menghargai proses, serta sadar akan pentingnya kesehatan dan tanggung jawab sosial.
Konsep kurikulum makan hadir sebagai alternatif progresif untuk menjembatani kesenjangan ini. Kurikulum makan bukan berarti menjadikan makan sebagai mata pelajaran khusus, tetapi mengintegrasikan nilai-nilai seputar gizi, budaya pangan, etika makan, dan pengolahan makanan ke dalam pembelajaran harian. Ia bisa hadir dalam proyek kebun sekolah, kegiatan memasak bersama, eksplorasi budaya daerah melalui makanan, atau bahkan diskusi tentang iklan makanan tidak sehat dalam pelajaran Bahasa Indonesia dan IPS. Pendekatannya tidak kaku, melainkan tematik dan kontekstual sesuai prinsip Merdeka Belajar.
Sayangnya, implementasi kurikulum makan di Indonesia masih minim dan bersifat sporadis. Beberapa sekolah swasta atau komunitas pendidikan alternatif memang sudah mempraktikkan pendekatan ini---misalnya dengan membudayakan "makan siang bersama" yang tenang, sehat, dan penuh kesadaran.Â
Namun di sekolah negeri, kurikulum makan belum mendapatkan tempat yang jelas. Padahal, jika ditopang kebijakan lintas sektor dan didukung oleh pelatihan guru serta fasilitas pendukung, kurikulum ini berpotensi besar menjadi pilar pendidikan karakter yang menyenangkan dan relevan bagi anak-anak.
Dengan menjadikan makan sebagai bagian dari kurikulum, sekolah tak hanya mengajarkan anak-anak tentang gizi, tapi juga tentang tanggung jawab, kesederhanaan, empati, dan rasa syukur. Makanan menjadi sarana belajar yang utuh---dari dapur rumah hingga meja makan sekolah---yang jika diolah dengan baik, akan menumbuhkan anak-anak Indonesia yang tidak hanya sehat secara fisik, tetapi juga kuat secara karakter.
Membangun Literasi Makan
Sebelum anak mengenal pelajaran di kelas, ia terlebih dulu belajar dari rumah---dan salah satu ruang belajar paling awal adalah dapur. Di sana, anak mengamati bagaimana makanan dipilih, diolah, dan disajikan. Ia belajar mengenal warna, tekstur, rasa, dan bau.Â