Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Serentak Sebagai Momentum Kolaborasi Pembangunan Nasional

1 Desember 2024   15:03 Diperbarui: 1 Desember 2024   15:06 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Presiden Prabowo Subianto memilih calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2024 (Sumber: Tempo.co)

Pilkada serentak 2024 sudah diselenggarakan dengan baik, yang berakhir damai dan sukses. Perbedaan pilihan figur pasangan calon yang dikhawatirkan bisa memicu terjadinya konflik horizontal ternyata bisa diredam. Beberapa lembaga survei langsung memprediksi pemenang pilkada di tiap-tiap daerah beberapa jam setelah pemungutan suara. Para kandidat yang dinyatakan sebagai pemenang pun sumringah, sementara para pendukungnya juga langsug mengadakan selebrasi untuk mensyukuri kemenangan tersebut.

Dari hasil hitung cepat yang dipublikasikan oleh sejumlah lembaga survei diketahui bahwa peta kemenangan Pilkada serentak ini memiliki pola yang hampir serupa di beberapa daerah yang strategis, baik di Pulau Jawa maupun luar Pulau Jawa. Polanya adalah daerah yang pemenangnya didominasi oleh calon yang didukung oleh partai Koalisi Indonesia Maju (KIM) dan partai-partai di luar KIM, terutama PDI Perjuangan. Untuk diketahui bahwa Koalisi Indonesia Maju merupakan partai-partai pendukung Prabowo-Gibran ketika Pilpres. Artinya, dukungan KIM terhadap pasangan calon kepala daerah merepresentasikan dukungan partai-partai pendukung pemerintahan sekarang.

Dengan pola kemenangan demikian, akan seperti apa corak politik Indonesia lima tahun mendatang di tengah kekisruhan hubungan antara kekuatan pro pemerintah dengan oposisi yang direpresentasikan oleh PDI Perjuangan. Sudah pasti, ketidakharmonisan antar kubu ini berpotensi menciptakan dinamika relasi yang kompleks antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks pembangunan, polarisasi politik antara KIM dan partai-partai di luar KIM dapat memengaruhi stabilitas koordinasi dalam implementasi program strategis nasional. Resistensi ini bukan hanya muncul dari fanatisme ideologis, tetapi juga dari persepsi adanya kompetisi politik yang berlanjut ke tingkat lokal.

Basis-basis tradisional PDIP, seperti Jawa Tengah dan Bali, cenderung mempertahankan loyalitas kuat terhadap partai ini. Daerah-daerah ini bisa saja menunjukkan resistensi terhadap kebijakan nasional yang dianggap terlalu terpusat atau bias terhadap program yang diusung oleh koalisi pemerintahan pusat. Dalam politik lokal, fanatisme seperti ini dapat memengaruhi persepsi masyarakat dan birokrasi daerah terhadap kebijakan pusat yang diinisiasi oleh pemerintahan Prabowo. Kepala daerah dari PDIP di wilayah ini boleh jadi akan menghadapi tekanan politik lokal untuk mempertahankan "kemandirian" daerah mereka dan mengurangi ketergantungan pada pusat.

Polarisasi Politik

Polarisasi politik dan fanatisme lokal ini berpotensi memengaruhi pelaksanaan kebijakan nasional di daerah. Koordinasi dalam implementasi program strategis nasional menjadi tidak efektif karena terhambatnya komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal, semua kepala daerah yang dipilih dalam Pilkada serentak akan berperan sebagai aktor utama yang menjembatani kebutuhan lokal dengan kebijakan nasional. Dengan kata lain, para kepala daerah ini memiliki peran strategis dalam mendukung program-program pemerintah pusat selama 5 tahun mendatang.

Iskandar Kato dkk, dalam buku Manajemen Pembangunan Daerah (2021) menuliskan bahwa pembangunan nasional merupakan hasil akumulasi dari pembangunan daerah. Artinya, pembangunan daerah merupakan tempat terakumulasinya program-program pembangunan, yang kemudian menyatu menjadi pembangunan nasional. Keberhasilan pembangunan nasional hanya dapat dicapai jika setiap daerah mampu menjalankan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dengan baik (Detik.com, 28/11/2024).

Pilkada serentak 2024 telah memperlihatkan menguatnya potensi polarisasi politik berbasis regional. Daerah-daerah dengan mayoritas kepala daerah dari partai non-KIM, seperti PDIP di Jawa Tengah dan Bali, bisa saja memanfaatkan otonomi daerah untuk menegaskan "kedaulatan" politik lokal. Kondisi ini dapat memperlebar kesenjangan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama jika kepala daerah menggunakan isu-isu lokal sebagai alat untuk melawan kebijakan pusat yang dinilai tidak sejalan dengan kepentingan politik mereka.

Polarisasi berbasis partai dan ideologi ini bisa saja merembet ke mana-mana dan berpotensi menimbulkan fragmentasi dalam penentuan prioritas pembangunan antarwilayah. Daerah-daerah yang dipimpin oleh kepala daerah non-KIM bisa memanfaatkan otonomi daerah untuk menegaskan "kedaulatan" politik lokal. Ini dapat memperlebar kesenjangan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama jika kepala daerah menggunakan isu-isu lokal sebagai alat untuk melawan kebijakan pusat yang dinilai tidak sejalan dengan kepentingan politik mereka.

Kesenjangan pembangunan antara daerah maju dan daerah tertinggal (seperti Papua, NTT, dan beberapa wilayah Sulawesi) bisa "digoreng" oleh kepala daerah sebagai bentuk diskriminasi pembangunan di mana pemerintah pusat dituding kurang memberikan perhatian sehingga semakin memperdalam polarisasi ekonomi. Klaim ini kemudian memicu tuntutan desentralisasi fiskal yang lebih besar atau bahkan resistensi terhadap kebijakan redistribusi sumber daya yang dianggap tidak adil. Sebaliknya, daerah maju yang merasa mendominasi kontribusi terhadap perekonomian nasional dapat menuntut lebih banyak otonomi dalam pengelolaan sumber daya dan fiskal.

Akibatnya, polarisasi politik juga bisa merembet dalam pengelolaan anggaran daerah. Mekanisme transfer fiskal dari pusat ke daerah melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), atau Dana Desa dapat menjadi medan konflik. Jika kepala daerah merasa distribusi dana tersebut tidak merata atau diskriminatif berdasarkan afiliasi politik, mereka bisa saja menggunakan pengaruh politik untuk menentang pusat, bahkan dengan cara pasif seperti menghambat pelaksanaan kebijakan nasional di tingkat lokal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun