Mohon tunggu...
Sulkhan Zuhdi
Sulkhan Zuhdi Mohon Tunggu... Lainnya - Pebelajar Filsafat

Founder Komunitas MADANI | www.madani.my.id

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Laki-Laki Feminis, Mampukah?

1 Juli 2020   07:46 Diperbarui: 1 Juli 2020   07:34 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Mampukah Laki-laki menjadi Feminis?

Apa lelaki bisa jadi seorang feminis? Pertanyaan ini sulit untuk dijawab. Ideologi feminisme sendiri, seperti ideologi lainnya tidak pernah bersepakat pada dirinya sendiri. Sekalipun masih berumur pendek, ragam aliran feminisme bejibun jumlahnya.

Lantas, ada upaya infiltrasi dari para lelaki, dalam arti biologis, untuk ikut meramaikan gelaran paham kritis yang disebut memperjuangkan kesetaraan ini.

Sebagian orang menyebut fenomena ini sebagai bentuk dukungan dan patut diapresiasi, namun tak sedikit pihak menganggap hal ini sebagai bentuk infiltrasi yang bisa jadi meracuni gerakan feminisme dengan bias-bias patriarki atau istilah bekennya toxic masculinity.

Sebagai seorang laki-laki, saya sendiri seringkali mengalami perasaan dilematis tatkala mempelajari sekaligus ikut dalam beragam aksi dan projek kesetaraan yang mengatasnamakan paham feminisme.

Timbul perasaan dalam diri, apakah saya benar-benar memperjuangkan kesetaraan? Atau perilaku yang saya jalani sekedar kamuflase untuk bertahan ( survival of the fittest).

Hari ini mempelajari feminisme adalah tren. Menyebut diri sebagai seorang feminis adala cara agar diri tetap eksis bahkan dianggap progresif.

Men in Feminism

Kita mengenal beragam istilah yang merujuk pada makna lelaki feminis, sepeti male feminist, femmeninism, laki-laki baru dan istilah-istilah serupa. Lelaki (mungkin) bisa jadi feminis karena feminisme tak ubahnya kacamata berpikir atau ideologi. Oleh karena itu, apabila lelaki memakai kacamata pemikiran para feminis, maka otomatis ia akan menjadi seorang feminis pula.

Namun, nyatanya tak semudah itu.

Meneroka jauh ke dalam, feminisme berarti gerakan sosial, politik dan ideologi yang bertujuan menciptakan kesetaraan gender. Asumsinya, ketidakadilan berakar pada masyarakat yang mengunggulkan lelaki ketimbang perempuan.

Hal ini menimbulkan pandangan bahwa inti gerakan feminisme adalah kebencian terhadap lelaki. Meskipun dibungkus dengan beragam teori rumit dan ndakik-ndakik untuk menjustifikasi pandangannya.

Asumsi ini membuat saya merasa tak diundang dan tetap akan berada di pinggiran dalam gerakan ini. Lelaki dianggap tidak punya pengalaman terhadap ketubuhan perempuan, seberapa pun ia berempati.

Seorang feminis  bernama Nona Willis Aronowitz dalam artikelnya berjudul Meet the Woke Mysoginist (2017) menyebut saat ini banyak lelaki mengaku feminis namun tak paham apa maknanya. Ia menyebutnya sebagai "the woke mysoginist" atau misoginis yang terjaga/bangun.

Ada juga, kritik klasik terhadap lelaki yang ikut gerakan feminisme dilontarkan di dunia Barat. Peggy Kamuf (1987) mengajukan 7 pertanyaan pokok: 1) Suara siapa? 2) Imajinasi siapakah yang dipakai? 3) Bagaimana lelaki merasakan pengalaman perempuan? 4) Apakah ada kesan ahistoris? 5) Apakah posisi lelaki "in" atau "near" feminisme (pro-feminisme)? 6) Membaca dalam kegelapan, tidak terang-benderang? 7) Bagaimana mungkin lelaki mengalami "kehidupan ganda"?

Pro-feminisme

Di titik ini, saya berefleksi kalau sejauh apapun lelaki mencoba menjadi seorang feminis, ia paling banter memposisikan diri mendukung ide-ide feminis (pro-feminism) dan menolak perilaku seksisme (anti-sexism).

Pun, pandangan ini sepertinya juga bersyarat. Ketika terjadi perbedaan kepentingan dan lelaki merasa dirinya dirugikan serta hak-haknya terusik, besar kemungkinan keadaan akan berbalik.

Ini saya rasakan dalam geliat kehidupan kampus. Ketika isu-isu kesetaraan mendominasi ruang diskusi di kelas maupun dalam percakapan media sosial, ada gejala penolakan sekalipun halus dan juga berdalih   kemanusiaan.

Para lelaki, misalnya, lebih nyaman mengangkat tema-tema seperti ketimpangan sosial-ekonomi, kerusakan ekologi, moderasi beragama atau isu-isu kontemporer lainnya ketimbang membincang isu-isu kekerasan seksual, objektivikasi perempuan, pernikahan dini, dan isu-isu lain yang sering diangkat oleh mereka yang menyebut dirinya feminis.

Akhirul-kalam, seorang laki-laki paling jauh akan menjadi penjaga gerbong ide-ide feminisme, dan akan enggan masuk atau terpinggirkan bila mencoba menerobos masuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun