Mohon tunggu...
Sulistyantari Retno
Sulistyantari Retno Mohon Tunggu... -

16 y.o wanna be a good writer

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bukan Full Day School, tapi Co-Ekstrakurikuler

10 Agustus 2016   02:53 Diperbarui: 10 Agustus 2016   03:11 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kemarin sempat viral kabar bahwa menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) kita yang baru, Bapak Muhadjir Effendy, mengusulkan sebuah modifikasi program pendidikan yang disebut "Full Day School". Menurut berbagai sumber program ini memungkinkan siswa sekolah dasar hingga menengah untuk "belajar" di sekolah dari pukul 7.00 hingga pukul 17.00 seperti pegawai kantor. Hal ini didasari alasan agar siswa mendapatkan pendidikan karakter yang lebih selama mereka tidak dalam pengawasan orang tua. Nantinya murid akan dibekali pendidikan karakter yang lebih seperti nilai relijius yang kurang didapatkan dalam pendidikan formal biasanya.  Sontak banyak warga jagad maya yang kaget dan menolak usulan menteri kita ini, bermunculan pendapat-pendapat yang kontra dan sebagian besar mengecam ide ini. Sebagai contoh , jika anak dipaksa untuk bersekolah dari pagi sampai sore seperti itu maka waktu bersama keluarga mereka akan berkurang, karena tidak semua orang tua bekerja di kantor hingga sore. Kemudian, banyak juga yang berpendapat bahwa kita belum siap dengan hal yang semacam itu karena kita belum menjadi negara maju yang sumber daya pendidikannya sudah baik. Negara maju pun seperti Jepang, Korea, yang menerapkan full day school jika diperhatikan memiliki tingkat bunuh diri murid yang tinggi karena iklim persaingannya sangat ketat, mari bayangkan Indonesia yang masih kurang dalam segi infrastruktur dan suprastruktur menerapkannya. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat kontra yang bermunculan terhadap ide yang menggelitik ini meskipun belum dijabarkan secara jelas bagaimana sistem dan mekanismenya.

Akhirnya dikabarkan bahwa yang dimaksud menteri kita bukanlah "full day" yang memaksa murid agar belajar formal dari pagi sampai sore hari. Ia menjelaskan, setelah dikaji program ini lebih cocok disebut co-ekstrakurikuler. Penambahan waktu di sekolah ini berupa kegiatan yang menyenangkan dan menarik buat siswa sehingga mereka tidak memanfaatkan waktu antara selesai sekolah dengan rumah dengan kegiatan positif, bukan di mall atau tempat tongkrongan. Mungkin banyak yang berpendapat, bukannya itu sudah ada sejak dahulu, bukankah ekstrakurikuler memang sudah ada dan siswa sudah di anjurkan mengikutinya? Sama ja dong pak. Tapi tidak bagi saya, saya melihat ada kesempatan jika co-ekstrakurikuler ini dijalankan maka kegiatan diluar belajar mengajar formal mulai dianggap penting dan tidak dianak-tirikan lagi. Saya menaruh harapan besar dalam pengangkatan kembali kegiatan ekstrakurikuler ini.

Selama ini ekstrakurikuler dianggap hal sampingan, pengisi kekosongan dan pelengkap akademis. Bahkan sering juga dikambinghitamkan sebagai alasan prestasi akademik anak menurun. Bahkan banyak sekali orang tua yang menganggap ekstrakurikuler tidak penting sama sekali, yang penting 11 nilai mata pelajaran anaknya bagus dan masuk rangking kelas sehingga untuk naik ke jenjang pendidikan selanjutnya jadi lebih mudah. Begitu pula dengan staf pengajar, banyak sekali guru yang menganggap ekstrakurikuler hanya mengganggu kegiatan belajar mengajar. Tugas guru yang dominan sampai intrakurikuler saja, kegiatan diluar itu tanggungjawab murid sendiri. Yah, mungkin ada satu atau dua guru yang mau membimbing dalam kegiatan kegiatan ekstrakurikuler, yang lain menghilang atau bahkan melarang-larang. Kenapa? Ya karena bukan tanggung jawab mereka lagi toh? Tetapi terkadang di sini guru semakin terepotkan, ketika mereka tidak memegang kendali dan anak-anak tiba-tiba diluar kendali. Itu yang repot.

Selama ini banyak sekali kegiatan ekstrakurikuler yang belum dilaksanakan dengan optimal sehingga tampaknya tidak berguna. Banyak hal yang menyebabkan tidak optimalnya kegiatan ini. Misalnya tenaga pengajar kurang teralatih, manajemen organisasi yang kurang baik (karena organisasi dikelola secara mandiri oleh siswa dan kurangnya bimbingan dari orang yang lebih memahami) sehingga organissi tersebut tampak rancu, hingga masalah keuangan. Dengan adanya co-ekstrakurikuler ini setidaknya ekstrakurikuler mendapatkan perhatian lebih dan dimasukan dalam program yang diperhatikan sekolah, tidak kalah dengan intrakurikuler. Mungkin tidak perlu saya sebutkan bahwa pendidikan informal tidak kalah penting dengan pendidikan formal. Karena di luarlah siswa benar-benar mengapliksikan semua ilmunya yang didapat dalam kelas. Bahkan di luar kelaslah kadang siswa menemukan apa yang dia sukai dan belajar membentuk karakternya sendiri. 

Semuanya pasti memiliki downside. Jika kita akan mencoba sistem co-ekstrakurikuler ini maka banyak sekali yang harus kita korbankan. Kita membutuhkan banyak sekali tenaga pengajar, mungkin juga tambahan anggaran pemerintah untuk kegiatan tambahan, dan yang tidak kalah penting adalah penyatuan mindset antara pendidik, orang tua dan murid agar kegiatan ini bisa mengarah ke satu tujuan yang pasti. EIts. tapi tunggu dulu mau membenahi ini apa pemerataan pendidikan dulu ya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun