Mohon tunggu...
Sulis Tyaningsih
Sulis Tyaningsih Mohon Tunggu... Guru - Praktisi Pendidikan

Buku Pendiidkan, Sosial-Budaya, Sejarah, Sastra, Psikologi dan Sains sangat saya sukai.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982

13 September 2022   18:10 Diperbarui: 13 September 2022   19:09 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak mudah menjadikan seorang perempuan menjadi berlian yang membuat hati siapa pun terpesona, bukan? Perempuan haruslah patuh-penurut, bertutur kata lembut, berpakaian sopan, tidak pulang larut malam, makan jangan mengecap, harus mengerjakan semua pekerjaan rumah, menikah, harus punya anak, dan sebagainya- dan sebagainya, dan jika keharusan itu ditulis rasanya seluruh tinta di laut akan habis untuk menuliskannya.

Kim Ji-Yeong Lahir di negara kapitalis dan patriarki. Adik perempuannya harus rela gugur sebelum dapat melihat dunia hanya karena ibu mereka khawatir tentang masa depan anak perempuan dan tuntunan keluarga yang berharap lebih pada anak lelaki. Beruntunglah janin yang ke-4 bisa hidup damai karena akhirnya keluarga kecil mereka memiliki seorang penerus, yaitu lelaki.

 Sejak kecil, Kim Ji-Yeong dan kakaknya selalu didoktrin untuk memberikan semua yang bagus demi adik lelaki mereka, sedangkan hal yang kurang bagus bisa menjadi milik mereka berdua. Namun, Pendidikan mengubah pola pikir kedua perempuan itu. Saat duduk di bangku SMA, kakak Kim Ji-Yeong melakukan pemberontakan kecil sehingga membuat adik lelakinya beringsut.

Tidak hanya di rumah, doktrin lelaki adalah raja juga dialami Kim Ji-Yeong saat di sekolah. Ia menahan rasa kesal dan marah demi menginsafi tingkah anak lelaki-teman sebangkunya-yang menendang sepatu Kim sampai bergeser ke meja guru. Setelah mengetahui bahwa anak lelaki adalah biang keroknya, sang guru malah menasihati Kim bahwa anak itu menyukai Kim. Anak lelaki memang suka mengganggu orang yang disukainya.

Saat Kim Ji-Yeong berada di halte bus setelah pulang kursus, seorang anak lelaki mendekatinya. Hal ini membuat Kim khawatir dan mengirim pesan pada ayahnya untuk menjemput segera di halte tujuan. Kim menangis tersedu menceritakan kejadian penguntitan pada ayahnya, namun malah repetan yang ia dapat. Kenapa harus kursus di tempat sejauh itu? Kenapa bicara sembarangan dengan orang asing? Kenapa pakai rok sependek itu? Ia harus banyak belajar. Harus hati-hati, harus bersikap sopan dan patas.

Saat Kim dewasa dan mulai bekerja, misoginis semakin menjadi-jadi. Saat interview kerja, naik taksi, sedang rapat, tugas kantor, dan naik jabatan, semuanya dilewati dengan tatapan remeh rekan lelakinya. Akhirnya Kim Ji-Yeong resign dari kantornya demi menjadi ibu tumah tangga yang utuh dan juga ingin memperhatikan kondisi tubuhnya karena sedang berbadan dua.

Alih-alih mendapat apresiasi dari masyarakat, Kim Ji-Yeong malah dijulitin saat menikmati secangkir kopi demi melepas penat sehabis belanja. Aku juga mau punya suami yang bekerja sehingga aku bisa jalan-jalan santai sambil minum kopi. Ibu-ibu kafe memang beruntung, ujar dua orang yang memerhatikan Kim.

Sampai saat di rumah mertua pun Kim Ji-Yeong tidak pernah nampak memuaskan di mata keluarga suaminya. Aura kecewa terlihat  saat mengetahui bahwa Kim melahirkan anak perempuan, padahal mertuanya sangat menginginkan anak lelaki. Semua pekerjaan rumah tangga yang tiada habisnya harus dikerjakan Kim saat di rumah mertua, karena ia adalah satu-satunya menantu perempuan dari anak lelaki satu-satunya di rumah tersebut. Puncaknya adalah Kim Ji-Yeong depresi dan harus mendapatkan pertolongan medis.

Jujur saat membaca bab awal buku, saya menganggap remeh permasalahan Kim ketika ia masih kecil. Saya pikir Kim begitu lebai! Kenapa tidak adu jotos saja dengan anak lelaki yang selalu menggagunya itu? Namun setelah membaca lembar demi lembar, saya sadari bahwa tidak semua anak perempuan bersikap koleris, yang jika diganggu maka balas mengganggu. Kim kecil bersikap lebih plegmatis.  

Semakin saya mendekati bab akhir, semakin saya menaruh simpati besar terhadap Kim. Terjawab pula pertanyaan di hati tentang beberapa berita kriminal yang menghiasi layar kaca tentang Ibu yang tega menggorok anaknya, Ibu yang tega menggantung anaknya, Ibu yang tega meninggalkan anaknya demi bersama lelaki lain. Ibu tersebut tidak bisa disalahkan seutuhnya. Mereka berpikir gila dan tak ada yang mau menolong saat gejala kegilaan tersebut muncul.

Ada baiknya seluruh elemen masyarakat mengubah paradigma dalam memandang dunia perempuan. Jika perempuan melakukan kesalahan, sebaiknya jangan langsung menghakimi. Cotohnya saja, kita kerap menemukan anak yang tantrum di keramaian, sang ibu bingung tidak bisa mendiamkan anak tersebut. Dengan tidak memelototi anak yang menjerit dan ibu yang gelisah itu sudah membantu meredakan perasaan ibu tersebut. Atau dengan melangkahkan kaki mendekati ibu tersebut dan mengatakan Saya mengerti apa yang kamu rasakan, mari saya bantu, sangat efektif menghilangkan beban di pundak ibu tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun