Mohon tunggu...
pungipung
pungipung Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Negeri Selebriti

.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sherlock Season III: Sherlock Holmes yang Lebih Manusiawi

18 Maret 2014   04:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:49 3793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13950661791920718774

[caption id="attachment_316014" align="aligncenter" width="285" caption="metro.us"][/caption]

Jeda dua tahun bukanlah penantian yang menyenangkan bagi penggemar Sherlock. Setelah penantian sejak 2012, Sherlock baru pada awal tahun ini merilis seri lanjutannya. Tidak seperti serial lain yang umumnya dirilis setiap tahun dengan banyak episode, Sherlock terhitung pelit. Kemunculannya hanya dua tahun sekali dan tidak lebih dari tiga episode setiap musimnya. Tahun ini pun hanya tiga episode yang dirilis Sherlock untuk musim ketiganya. Namun meski minim episode, durasi panjang-lebih dari satu jam-per episode munkgin bisa sedikit mengobati ketidaksabaran para fans Sherlock.

Seri baru ini menampilkan kisah dua tahun setelah “kematian” Sherlock di The Reichenbach Fall.  Setelah berpura-pura mati di season sebelumnya, Sherlock memberikan kemunculan yang komikal di depan Watson. Kemarahan Watson pun menjadi dagelan pembuka yang mengocok perut. Lambat laun ketegangan dua sahabat ini mencair dan membawa mereka ke petualangan-petualangan seru selanjutnya.

Di episode perdana, The Empty Hearse, jalinan cerita awalnya didominasi kisah dibalik kematian Sherlock. Ingatan penonton pasti langsung mengarah pada novel The Return  of Sherlock Holmes. Sesuai adaptasi novel tersebut, fragmen ini juga menguak trik Sherlock dalam memalsukan kematiannya. Cukup dramatis namun tak terlalu memberikan kejutan yang wah.

Kasus yang dihadapi Sherlock berikutnya adalah ancaman teroris yang akan meledakkan kota London. Mycroft membocorkan informasi intelijen tentang serangan teroris yang segera muncul. Bersama Watson, Sherlock berusaha memecahkan potongan informasi yang tak detil itu. Meski topiknya menyeramkan namun episode ini gagal menghadirkan ketegangan yang menghebohkan. Pun tidak terjelaskan ketajaman analisis Sherlock seperti yang menjadi ciri khasnya.

Seolah terjebak pada alur yang landai, episode kedua, The Sign of Three (adaptasi dari versi novel The Sign of Four), malah tampil lebih membosankan. Pernikahan Watson menjadi setting utama yang monoton. Kasus rencana pembunuhan terhadap Major Sholto seperti hanya sekedar diselipkan didalamnya, terasa hambar dan tanggung. Lagi-lagi tak ditonjolkan kemampuan analisis Sherlock yang biasanya membuat pembaca atau penonton berdecak kagum.

Untunglah ada episode His last Vow sebagai pemungkas season ketiga ini. Sherlock menemukan lawan yang sepadan. Charles Magnussen, seorang raja media tapi juga menjadi pemeras jenius. Ia memiliki appledore yang konon berisi database raksasa mengenai seluruh seluk beluk para tokoh dan segala peristiwa. Setiap mangsanya dipastikan tak akan mampu lepas dari cengkeraman Magnussen. Ia memiliki banyak kartu truf untuk menjatuhkan mangsanya. Itu juga yang dialami Lady Smallwood yang kemudian meminta bantuan Sherlock Holmes.

Twist-twist mengejutkan serta kemampuan analitis Sherlock yang brilian seperti kembali dalam episode ini. Kejutan lain salah satunya karena adanya penggambaran tokoh yang berbeda dengan versi novel. Siapa sebenarnya Mary, bagaimana masa kecil Sherlock dengan keluarganya disampaikan dalam versi cerita baru.

Secara keseluruhan memang ada kesegaran dalam season ketiga. Paling tampak adalah sosok Sherlock yang lebih manusiawi. Boleh dikata fenomena “humanisasi” para super hero di film-film Hollywood ternyata juga menulari Sherlock. Berbeda dengan novel maupun versi filmnya, serial Sherlock kini lebih kentara menampilkan sosok personal Sherlock Holmes dan hubungan sosialnya dengan keluarga dan orang terdekatnya. Jadi jangan kaget jika kita  jadi lebih sering menjumpai sosok Mycroft, kakaknya serta kedua orang tua Sherlock, yang uniknya diperankan oleh orang tua asli Bennedict Cumbercath.

Sir Arthur Conan Doyle memang menciptakan Sherlock Holmes sebagai sosok yang dingin dan penuh  misteri. Tak banyak asal-usul maupun detil kehidupan pribadi Sherlock dalam deskripsi Doyle. Dan di versi miniseri bersambung ini, kita melihat tafsir Sherlock yang berbeda sekian puluh derajat. Semua itu tergambar dalam hubungannya dengan Mycroft yang terkesan kompleks, kekikukannya saat harus menjadi bestman sekaligus speaker pada pernikahan sahabatnya, Watson. Dan juga tentu saja saat harus mengungkap rahasia terbesar dari istri sahabatnya itu. Sesuatu yang tak pernah kita nikmati lewat novel maupun film.

Karakter lain yang menjadi kutub utama di musim ini adalah Charles Augustus Magnussen. Sosok adaptasi dari novel The Adventure of Charles Augustus Milverton, yang juga diinspirasi dari tokoh nyata, sekaligus menjadi satir atas gambaran kekuasaan media yang sering berlaku semena-mena. Penggambaran Magnussen dengan arogansi diri dan kebrutalan medianya juga seolah menyentil sosok Rupert Murdoch, raja media Inggris yang tak disukai publik. Perhatikan adegan Magnussen saat mengikuti sesi hearing dengan Lady Smallwood di awal episode. Mirip dengan apa yang pernah dialami Murdoch saat dihakimi petinggi pemerintahan Inggris kemarin lalu.

Disesuaikan dengan masa kekinian, His Last Vow juga cukup konstektual dengan modernitas zaman sekarang. Lihat saja konsep Appledore milik Magnussen. Mungkin itu mengingatkan kita pada konsep Google Glass yang baru dikenalkan. Appledore yang disebut-sebut sebagai “perpustakaan” terlengkap di dunia membuat Sherlock bernafsu menguasainya.Di lain pihak Appledore sebagai lumbung informasi juga menjadi kartu truf yang membuat Magnussen ditakuti siapapun. Adagium “siapa yang menguasi informasi dia yang akan menguasai dunia” disiratkan disini.

Tapi yang menarik, ternyata di akhir kisah Steven Moffat, sang kreator, menjungkalkan bayangan Sherlock-dan juga kita terhadap Appledore. Ia seperti mengingatkan, sesuatu secanggih apapun sebenarnya tak lebih dari hasil kerja otak manusia. Dan diatas itu semua, otak kita sebenarnya mampu menjadi lebih hebat dari apapun yang mampu diciptakan oleh kecanggihan teknologi.

Dan untuk pertama kalinya kecemerlangan otak Sherlock “dikalahkan” oleh lawannya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun