Mohon tunggu...
Sukma Ari Ragil Putri
Sukma Ari Ragil Putri Mohon Tunggu... -

pembelajar sepanjang hayat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kita Punya Pilihan, Perempuan

26 Juli 2018   14:27 Diperbarui: 30 Juli 2018   07:56 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena perdebatan antara ibu yang bekerja dan ibu rumah tangga semakin ramai belakangan ini. Masing-masing memiliki opini untuk menjustifikasi pilihannya dan ‘merendahkan’ pilihan yang lainnya. Ibu yang memutuskan untuk bekerja tentunya memiliki beberapa motif yang akhirnya mendorongnya untuk bekerja, misalnya saja memperkuat perekonomian keluarga, mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh, dan juga bersosialisasi di comfort zone-nya. Sementara ibu rumah tangga tentunya memiliki pertimbangan tersendiri juga dengan pilihannya, ingin mengurus anak dan suami dengan tangan sendiri, mengikuti tumbuh kembang anak secara kontinyu, dan sebagainya.

Sebenarnya kedua profesi tersebut pada intinya sama-sama ingin menunjukkan eksistensi. Ibu yang bekerja ingin mempertahankan eksistensinya sebagai perempuan tangguh dan mandiri, sedangkan ibu rumah tangga berusaha menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan yang keibuan yang mencurahkan segala hidupnya untuk menjadi pengurus rumah tangga. Jika dapat kita pahami, keduanya sama-sama berprofesi sebagai ibu, lalu apa yang dipermasalahkan? Yang dipermasalahkan adalah bagaimana kedua profesi tersebut kemudian saling berusaha menjatuhkan. 

Ibu yang bekerja tentunya akan memiliki lebih sedikit waktu untuk berkumpul dengan keluarga karena kesibukannya kemudian melakukan pembenaran bahwa perempuan harus tangguh, tidak bergantung pada laki-laki, dan mampu bersaing di dunia luar, berkontes di ranah ‘maskulin’. Yang kemudian membuat ibu rumah tangga dipandang sebelah mata. Namun ibu rumah tangga pun memiliki pembenarannya sendiri guna membesarkan hati, mulai dari pahala yang diterima akan jauh lebih besar ketika mengurus keluarga (berdasarkan beberapa ajaran agama tertentu), dan kemampuan suami untuk menafkahi keluarga yang lebih dari cukup tanpa ia harus turun tangan.

Baik ibu yang bekerja, maupun ibu rumah tangga memiliki tujuan yang sama yaitu menunjukkan eksistensi mereka sebagai perempuan, namun patokan validasi eksistensi yang dimiliki berbeda. Ibu yang bekerja merasa eksistensinya telah tervalidasi apabila ia disebut sebagai super woman atau wonder woman, yaitu istilah bagi ibu yang bisa membagi waktu untuk bekerja dan juga mengurus keluarga dengan baik. Ibu yang bisa menguasai ranah ‘maskulin’ tanpa harus meninggalkan ranah ‘feminin’-nya. 

Pertanyaannya adalah, kenapa? Kenapa untuk menunjukkan eksistensi sebagai perempuan kita harus terjun ke ranah yang dikategorikan sebagai maskulin? Ketika laki-laki bisa berjaya dengan hanya berjuang di ranah ‘maskulin’ saja mengapa kita harus banting tulang untuk berjaya di keduanya? Haruskah bangga dengan sebutan wonder woman jika setelah kita telaah lebih lanjut yang kita banggakan adalah bagaimana kita dianggap keren ketika melakukan pekerjaan ‘maskulin’? 

Pemikiran seperti itu didasari oleh naturalisasi yang telah kita terima selama hidup kita dimana pekerjaan ‘maskulin’ selalu lebih baik daripada pekerjaan ‘feminin’. Bukankah itu juga bagian dari upaya maskulin untuk menjadikan feminin sebagai subordinat? Sebagai jender kelas dua.

Sedangkan ibu rumah tangga, validasi eksistensi mereka adalah ketika suami, anak, dan kehidupan rumah tangga terurus dengan baik. Biasanya mereka ‘merendah’ dengan dalih bahwa ketika suami telah mengerjakan pekerjaan ‘maskulin’ alias bekerja di luar rumah, maka mereka mengalah untuk melakukan pekerjaan ‘feminin’ alias pekerjaan domestik. Mereka menganggap bekerja di rumah yang selama ini diasosiasikan dengan ranah fenminin sebagai suatu bentuk ‘kekalahan’ yang berada di bawah posisi suaminya yang bekerja di luar rumah. 

Dari kedua hal tersebut muncul persamaan, yaitu keduanya sama-sama menganggap feminin sebagai jender kelas dua. Eksistensi yang berusaha untuk mereka capai, sama-sama eksistensi yang mungkin saja sangat diharapkan oleh jender maskulin, karena toh baik menjadi ibu yang bekerja ataupun ibu rumah tangga mereka tetap beranggapan bahwa segala sesuatu yang maskulin selalu lebih ketimbang yang feminin.

Pada dasarnya kita dilahirkan tanpa definisi. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu filsuf Prancis, Jean Paul Sartre, bahwa eksistensi mendahului esensi. Dengan kata lain, kita dilahirkan sebagai organisme hidup yang tanpa identitas hingga akhirnya kita menciptakan identitas sendiri melalui pilihan dan keputusan yang ada di kehidupan kita. Jika demikian, kita memiliki kebebasan penuh akan diri kita dan bertanggung jawab terhadap tindakan apapun yang kita pilih, dengan menyadari bahwa selalu ada pilihan dalam setiap kejadian dalam hidup kita.

Poin yang ingin saya tekankan adalah, sebagai manusia kita selalu punya pilihan, dalam situasi apa pun, dan yang bisa kita lakukan adalah memilih dengan sadar dan bertanggungjawab atas pilihan tersebut. Bagaimana sosok ibu yang ingin kita munculkan juga sepenuhnya adalah pilihan kita. Kita secara sadar memilih untuk menjadi ibu yang bekerja ataupun ibu rumah tangga dengan segala konsekuensinya. 

Karena baik bekerja maupun mengurus rumah tangga itu bukan kodrat, melainkan hasil konvensi sosial.  Pada akhirnya, hal tersebut membuat kita memilih salah satu dari profesi tersebut begitu saja tanpa sadar bahwa kita punya pilihan dan kitalah yang mendefinisikan diri kita sendiri melalui pilihan tersebut. Feminin bukan jender kelas dua. Jangan merasa malu akan femininitas dan jangan merasa bahwa patokan keberhasilan adalah maskulinitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun