Mohon tunggu...
Suka Ngeblog
Suka Ngeblog Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis buku, terkadang menjadi Pekerja Teks Komersial

Blogger, writer, content creator, publisher. Penggemar Liga Inggris (dan timnas Inggris), penikmat sci-fi dan spionase, salah satu penghuni Rumah Kayu, punya 'alter ego' Alien Indo , salah satu penulis kisah intelejen Operasi Garuda Hitam, cersil Padepokan Rumah Kayu dan Bajra Superhero .Terkadang suka menulis di www.faryoroh.com dan http://www.writerpreneurindonesia.com/

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Agen Mossad Itu Tawarkan Kerjasama

7 Desember 2012   14:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:02 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_220165" align="aligncenter" width="336" caption="Ilustrasi (gambar: desertpeace.wordpress.com)"][/caption]

SIGIT Bhuwono merasa udara di sekitarnya seperti mengering. Dia kini berada dalam satu ruangan dengan Si Pisau, Khalid Al-Habsy alias Shlomo Mordechai, salah satu dari lima agen Mossad yang paling ditakuti di dunia!!

Sigit segera menyalakan lampu dan memasang kipas angin.

"Silakan duduk. Maaf, mau minum apa?"

"Emm... Air mineral saja, jika tidak merepotkan," balas Shlomo sambil duduk di kursi kayu berukir yang ada di ruangan itu. (Semua percakapan antara Sigit dan Shlomo dilakukan dalam Bahasa Inggris, namun untuk memudahkan sudah saya translate ke dalam Bahasa Indonesia, hehehe).

Sigit membuka lemari es mini dan mengambil air mineral kemasan botol kecil. Dia juga mengambil satu plastik berisi sedotan dan meletakkan di meja.

Sigit duduk di kursi dekat Shlomo. "Angin apa yang membawa Shlomo Mordechai ke gubuk saya ini?" Sigit bertanya setengah melucu, mencoba mencairkan suasana.

"Angin damai, tentu saja," kata Shlomo sambil membuka botol mineral dan langsung mereguk dari botol. "Emmm, kedatangan saya terkait dengan Callysta 7. Saya yakin, saudara Sigit pernah mendengar tentang Callysta 7 bukan?"

Sigit mengerutkan keningnya. Callysta 7? "Hmm... Sepanjang yang saya tahu, Calysta 7 adalah nama sandi untuk  Deotryphil Callymodetoxid, zat beracun yang diciptakan tanpa sengaja oleh seorang ilmuwan asal Taiwan. Callysta 7 adalah varian terbaru, yang konon merupakan racun paling mematikan yang pernah diciptakan manusia..."

Shlomo mengangguk. "Saya yakin, saudara Sigit pasti tahu, bahwa Callysta 7 dengan dosis seukuran satu botol air mineral ini, bisa menghabisi semua makhluk hidup yang ada di kota Bandung?"

Sigit mengelus rambutnya, dan ikut mengangguk. "Iya, teorinya begitu."

"Dan, tentu saudara Sigit tahu siapa Pavel Kracshak?"

Kembali Sigit mengerutkan keningnya. Apa ini? Wawancara atau apa? "Sebentar. Saya ingat-ingat dulu. Pavel Kracshak, pemain sepak bola, pernah bermain di klub Nottingham Forest dan Stoke City di Liga Inggris, juga pernah menjadi pemain klub Catania di Serie A Liga Italia. Setelah pensiun dari lapangan hijau dia berbisnis senjata. Dia disebut-sebut sebagai pedagang senjata terbesar di Eropa Timur. Kliennya adalah organisasi penting di Asia, Eropa juga Amerika Latin..."

Shlomo mengangguk. Wajahnya nampak puas. "Berarti saudara Sigit tahu kalau Pavel Kracshak sekarang berada di Indonesia?"

Sigit menatap Shlomo. Bagaimana dia bisa tahu? Tapi tentu saja dia tahu. Dia agen Mossad. "Iya. Kami mencium keberadaannya di Bali. Dalam sepekan terakhir dia berada di sebuah villa pribadi di Bogor," kata Sigit mengangkat bahunya. "Hanya itu yang saya tahu..."

Shlomo mengambil botol air mineral, mengguncangnya sebentar, dan berujar pelan. "Emmm... Berarti saudara Sigit belum tahu kalau Pavel kini memiliki Callysta 7 sebanyak 50 kilogram, dan berniat menjualnya ke penawar tertinggi?"

Sigit terdiam. Dia menatap Shlomo, mencari tanda-tanda bahwa si agen Mossad ini sedang bercanda. Namun melihat raut wajahnya, jelas Shlomo tidak sedang bercanda.

"Maaf, maksud Anda, Pavel Kracshak berniat melakukan transaksi, berniat menjual senjata biologis paling mematikan, dan itu dilakukan di sini, di Indonesia?"

Shlomo mengangguk.

"Ah, sekarang aku mengerti kenapa ada agen CIA dan MI6 di kafe yang sama dengan Anda. Itukah 'paket' yang dimaksud?"

Shlomo kembali mengangguk. Wajahnya nampak serius. Sangat serius. "Saya yakin, saudara Sigit bisa mengerti bahaya seperti apa yang bisa terjadi. Bayangkan jika Callysta 7 jatuh ke teroris yang berpikiran pendek. 5 kg Callysta 7 bisa membuat kota besar seperti London atau Washington menjadi kota hantu hanya dalam waktu setengah jam. Bahkan, teroris hanya membutuhkan 1 kg Callysta 7 untuk membuat Jerusalem dan seluruh wilayah Palestina menjadi daerah tanpa penghuni!!"

Sigit merasa tubuhnya merinding. Dari yang pernah dibacanya, Callysta 7 bekerja melalui udara. Jika terhirup, 5 detik kemudian  pernafasan akan terhenti dan dalam 15 detik selanjutnya siapapun yang menghirupnya akan tewas dengan mata, hidung dan telinga mengeluarkan darah!!

Lamunan  Sigit terhenti oleh bunyi telepon genggam milik Shlomo. Agen Mossad itu meminta maaf dan membukanya. "Halo? ... Iya ... Saya sudah bertemu dengannya ... Kau di mana? ... Oke ... Baik ... Baik ..."

"Ada seseorang yang ingin bertemu Anda," Shlomo berujar sambil tersenyum. "Dia akan mengetuk pintu...." Shlomo melirik jam tangannya, "Sekarang!!"

Terdengar ketukan pelan di pintu. "Assalamualaikum..." Terdengar suara jernih. Suara perempuan.

Sigit berdiri dan berjalan ke pintu, diikuti Shlomo. Sigit membuka pintu. Nampak seorang perempuan bertubuh tinggi langsing tersenyum di balik pintu. Perempuan itu mengenakan kerudung berwarna hijau. Dia berwajah cantik. Sangat cantik, dengan kecantikan khas Timur Tengah yang sangat kuat. Dia mengenakan kaos berwarna hijau dan celana jeans. Di balik punggungnya nampak ransel tipis.

"Saudara Sigit, kenalkan, ini Aleesha  Mahmoud, agen rahasia dari PSL, dinas rahasia Palestina," kata Shlomo. "Aleesha, kenalkan, ini saudara Sigit."

Sigit terpana. Untuk sesaat dia tak bisa mencerna apa yang dikatakan Shlomo. Gadis ini agen rahasia Palestina? Dia membatalkan niat untuk berjabat tangan ketika melihat Aleesha mengatupkan jemarinya di depan dada.

"Eh, silakan masuk, silakan duduk," kata Sigit setengah tergagap. "Mau minum apa?"

"Air mineral saja," ujar Aleesha sambil duduk di samping Shlomo.

Sigit kembali mengambil air mineral kemasan botol dari lemari es.

"Jadi, Anda Aleesha? Aleesha yang itu? Aleesha yang konon membunuh tujuh anggota Yakuza hanya dengan tusuk gigi?" Sigit bertanya sambil meletakkan botol mineral ke atas meja.

"Haha... Saudara Sigit hanya mendengar separuh cerita. Saat itu, ada 13 anggota Yakuza yang tewas. Tujuh tewas oleh tusuk gigi, sisanya dibunuh Aleesha menggunakan sedotan. Sedotan yang mirip seperti ini..."

"Ah sudahlah, saudara Sigit. Tak perlu dibesar-besarkan," Aleesha berujar sambil mengibaskan tangannya. "Kita sama-sama profesional. Sama-sama terlatih. Saudara Sigit pernah membunuh lawan dengan tangan kosong bukan? Jadi jangan katakan kalau saudara Sigit juga tak bisa membunuh lawan dengan tusuk gigi atau sedotan..."

Sigit menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tentu saja dia pernah membunuh lawan dengan tangan kosong. Namun membunuh lawan dengan tusuk gigi? Dia belum pernah mencoba. Tapi, Aleesha benar. Seharusnya dia juga bisa melakukan hal itu.

"Terus terang, kalau tidak melihat sendiri, saya tak akan percaya. Anda, agen rahasia Palestina, bisa bersama...."

"Haha... Aku mengerti, saudara Sigit," potong Aleesha. "Jika kasus ini sudah selesai, saya dan Shlomo akan bermusuhan lagi. Saya tidak keberatan untuk membuang jasadnya ke laut, bersama rekana-rekannya kaum Zionis yang biadab..." Aleesha berujar sambil melirik Shlomo yang menundukkan kepala.

"Saya yakin saudara Sigit sudah mengetahui soal Callysta 7 bukan?" Aleesha berujar serius. "Saya ditugaskan resmi oleh otoritas Palestina untuk mengatasi hal ini. Dan saya diperintahkan untuk bekerjasama dengan siapa saja. termasuk agen Mossad. Itu semata karena persoalan yang kita hadapi sangat serius dan berbahaya...."

"Ini bukan semata untuk kepentingan Yerusalem. Atau Palestina," sambung Aleesha. "Bagaimana jika Callysta 7 jatuh ke tangan orang gila, yang kemudian meletakkan senjata mematikan itu di Kota Mekkah, atau Medinah ketika musim haji berlangsung? Yang akan terjadi adalah bencana kemanusiaan yang tak bisa dibayangkan!!!"

Sigit mengangguk. Tanpa terasa dia merinding. Dia tak mampu membayangkan malapetaka apa yang akan terjadi jika Callysta 7 jatuh ke tangan psikopat.

"Dari informasi yang kami dapat, setidaknya sudah ada 32 organisasis teroris yang mendaftar untuk mengikuti pelelangan," kata Shlomo. "Jadi nanti, di Bogor, akan terjadi pertemuan perwakilan hampir semua organisasi teroris di dunia. Mulai dari Martyrs' Brigades dari Palestina, Kahane Chai dari Israel, HUJI-B dari Bangladesh, Liberation Tigers of Tamil Eelam dari Sri Lanka, Aum Shinrikyo dari Jepang, Communist Party of the Philippines dari Filipina, Lord's Resistance Army dari Uganda, Real Irish Republican Army dari Irlandia,  Revolutionary Struggle dari Yunani dan masih banyak lagi..."

"Maaf, tapi kenapa kalian menghubungi saya?" tanya Sigit. "Kenapa Anda ingin keterlibatan LIN (Lembaga Intelejen negara) dan bukannya BIN, organisasi intelejen resmi pemerintah?"

"Kami menawarkan kerjasama dengan organisasi Anda, LIN, semata demi menjaga rahasia," kata Shlomo. "Jika melibatkan BIN, bisa repot. Apalagi jika DPR tahu kalau ada agen Mossad di Indonesia. Perkaranya bisa panjang. Kita harus berupaya semaksimal mungkin agar Pavel tidak curiga, Kita harus berupaya agar pelelangan senjata biologis itu terjadi, dan kita masuk. Kita dapat senjata biologisnya dan perwakilan teroris bisa dilumpuhkan!!"

"Baik. Saya mengerti," kata Sigit. "Jadi apa yang sebaiknya saya lakukan?"

"Pertama-tama, mungkin saudara Sigit perlu melaporkan hal ini ke atasan," kata Aleesha. "Selanjutnya kita bisa bicarakan apa langkah selanjutnya..."

"Emmm... Soal atasan, eh... Emmm... Sebenarnya mereka sudah tahu," kata Sigit, sambil menyentuh pangkal telinga kanannya.

"Mereka sudah tahu? Bagaimana?" potong Shlomo. "Ah, tentu saja. Pasti ada kamera pengintai di ruangan ini, yang langsung terhubung ke kantor Anda. Bukan begitu?"

Sigit tidak menjawab. Dia hanya tersenyum.

"Oh ada kamera pengintai di ruangan ini?" Aleesha berujar sambil matanya menatap sekeliling.

"Iya. setidaknya ada dua kamera pengintai, Rasa-rasanya aku bisa menebak letaknya di mana. Bisakah kau menebaknya?"  kata Shlomo sambil tersenyum setengah menggoda kepada Aleesha.

"Hmmm...." Aleesha memicingkan matanya dan kembali menatap sekeliling. "Kamera pengintai. Kamera pengintai. Hmmm... Di mana ya? Hmmm... Aku pikir, salah satunya berada di bagian pangkal lampu itu. Benar bukan?" Aleesha melakukan gerakan seperti menembak dengan jari telunjuk tangan kanan ke arah lampu. Dia lalu meniup ujung telunjuknya...

"Hahaha... Hidungmu ternyata masih tetap tajam Aleesha," kata Shlomo. "Dan yang satunya lagi?"

"Satunya lagi ada di.... Hmmm... Aku yakin letaknya di kipas angin itu," kata Aleesha. Dia lalu menatap ke kipas angin. "Hai, namaku Aleesha, senang bertemu Anda!!" Dia lalu mencium telapak tangannya dan meniupkan ke arah kipas angin.

"Wow, hebat," puji Sigit. "Bagaimana Anda bisa tahu?"

Aleesha mengangkat bahunya. "Aku menemukan dua hal yang tidak cocok. Pertama, ruangan ini terang benderang namun lampunya menyala. Itu tidak cocok. Kedua, di sini juga dingin. Dan Anda memasang kipas angin. Dan sejak tadi saya tidak merasakan hembusan angin. Jadi, satu-satunya alasan kenapa lampu dan kipas angin dinyalakan karena hal itu yang perlu dilakukan untuk mengaktifkan kamera tersembunyi. Bukan begitu?"

Sigit kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Betul. kamera itu memang hanya diaktifkan dalam situasi darurat. Biasanya sih dimatikan demi privasi. Eh, bagaimana saudara Shlomo bisa menebak?"

Agen Mossad itu tertawa. "Sejak tadi aku sudah merasa heran, kenapa Anda menghidupkan lampu dan juga kipas angin, hanya beberapa saat setelah aku masuk. Anda tahu, sebagaia agen rahasia kita tak bisa menyepelekan hal kecil yang terkesan tidak berguna bukan? Dan ternyata benar. Anda menghidupkan kamera pengintai, hehehe..."

Sigit tersenyum. Tangan kanannya memegang telinga. "Mmmm... Maaf... Sebentar," dia memberi isyarat kepada Aleesha dan Shlomo. "Ya? ... Baik ... Baik ... Dimengerti pak ... Siap ... Siap.... Siap pak..." Sigit lalu menatap Aleesha dan Shlomo. "Jika tak keberatan, Anda berdua diundang ke kantor untuk mendiskusikan hal ini. Di luar sudah menunggu mobil untuk mengantar kita..."

Aleesha dan Shlomo mengangguk dan mengikuti Sigit.

Di luar, udara cerah. Samar terdengar bunyi burung berkicau. Sebuah mobil SUV berwarna hitam terparkir di depan.

"Astaga, saudara Sigit, apakah kehadiran kami begitu berbahaya hingga pimpinan Anda mengirim agen lapangan sebanyak itu?" ujar Aleesha.

"Maaf, saya tidak mengerti..."

"Ah saudara Sigit tak perlu berpura-pura. Tukang bakso, tukang sate, tukang sol sepatu dan penjual jamu itu teman Anda bukan? Mereka agen yang menyamar?" Tak jauh di belakang mobil memang nampak tukang bakso. Di dekatnya ada tukang sate. Pada jarak 10 meter di samping nampak seorang perempuan penjual jamu yang sedang berbincang dengan tukang sol sepatu.

"Agen yang menyamar? Aku tak mengenal mereka..."

"Hehehe... seperti aku bilang tadi, kita sama-sama profesional. Aku bisa menyebut 20 alasan kenapa mereka hanya menyamar. Sepatu tukang bakso itu disemir mengkilap. Pada saku bagian dalam tukang sate jelas sekali kalau itu tablet. Penjual jamu itu jelas mengantongi pistol. Dan tukang sol..."

"Oke... oke... Anda benar," potong Sigit sambil tertawa. "Mohon maaf jika pimpinan terlalu berhati-hati. Tidak setiap hari kami mendapat kunjungan agen rahasia dari Israel..."

Sigit lalu memegang telinga kanannya. "Kawan-kawan, Oo, kamu ketahuan," kata Sigit dengan irama sebuah lagu lama. "Mereka aman. Kita kembali ke markas..."

Nyaris serempak, para penjual palsu yang semula nampak tegang itu langsung mencair. Sambil tersenyum mereka mendorong gerobak yang dibawa ke sebuah mobil kontainer besar yang diparkir tak jauh dari situ.

"Sial Dosifa, mereka hebat," terdengar suara di alat pendengar mini di telinga kanan Sigit. "Aku senang mereka di pihak yang sama dengan kita..."

"Tentu Dolare, tentu mereka hebat," bisik Sigit dalam bahasa Indonesia sambil menaiki mobil. Sigit duduk di depan di samping sopir. Shlomo dan Aleesha duduk di belakang.

Uh. Callysta 7. Kenapa juga si Pavel sialan itu menjadikan Indonesia sebagai lokasi untuk melelang senjata pemusnah massal mematikan itu? Sigit mendesah. Banyak hal telah terjadi. Kasus pembunuhan yang dia tangani belum juga menemukan titik terang. Dan kini ada kasus mendesak. Kasus yang berpotensi terjadinya bencana kemanusiaan terdahsyat sepanjang sejarah!!!

Di belakang, Aleesha dan Shlomo terdengar seperti sedang berdebat. Mereka bicara sambil berbisik.

"Ada masalah?" tanya Sigit.

"Ah tidak," kata Shlomo. "Sudah sejak beberapa hari lalu kami berdebat soal itu. Tentang film terbaru James Bond. Aku menganggap itu film Bond terjelek yang pernah ada. Aleesha justru menganggapnya sebagai film Bond terbaik. Sudah berhari-hari kami adu argumentasi soal itu. Eh, saudara Sigit sudah menontonnya kan? Bagaimana menurut Anda?"

Sigit menggeleng kepala tak percaya. Astaga. Menghadapi situasi seperti ini kedua agen itu justru berdebat soal film James Bond?

"Hei, kami memang agen rahasia. Namun kami juga manusia," kata Aleesha sambil tertawa. Ketiganya tertawa. Tawa mereka lenyap ditelan kepulan debu jalanan...

Catatan

Kisah ini merupakan bagian dari 'novel' berjudul Operasi Garuda Hitam, yang dibuat mencicil dengan pendekatan cerpen.... Cerita ini merupakan lanjutan dari 'cerpen' berjudul Spionase itu seperti anggur kematian dan Ada agen Mossad dan CIA di sini

Salam,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun