Mohon tunggu...
Suhut Tumpal Sinaga
Suhut Tumpal Sinaga Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa

Mahasiswa sekaligus dosen. Pengajar sekaligus pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Liverpool dan Anakku

21 Mei 2019   18:02 Diperbarui: 21 Mei 2019   18:23 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bayangkan jika Liverpool, sebelum mulai kompetisi sudah bilang bahwa wasit dan lawan pasti akan curang. Sepanjang pertandingan setiap kali kesenggol sedikit jatuh guling-guling sambil teriak minta lawan diberi kartu seperti Neymar. Ketika waktu sudah habis dan kalah, nangis lagi guling-guling minta lawan didiskualifikasi. FA ngga boleh kasih trophy ke Manchester City.

Itulah yang terjadi kalau semua pihak sudah suudzon duluan, tidak percaya pada rules of the game, tidak percaya pada penyelenggara, tidak percaya pada wasit. Semestinya Liverpool jangan ikut kompetisi dulu. Perbaiki dan sepakati dahulu rules of the game nya, penyelenggara dan wasit nya. Baru ikut kompetisi. Kalau sudah sepakati dan memutuskan ikut main, maka apapun hasil dan keputusannya, Liverpool harus bisa berlapang dada menerima. Kan sudah disepakati bersama.

Sama seperti hal lain di dunia ini, tidak ada yang adil 100% tanpa kecurangan sama sekali. Kedua Tim yang bertanding pasti berupaya segala cara meraih kemenangan. Mungkin akan tipis bedanya antara yang curang dengan yang tidak. Bahkan satu gol Liverpool ke gawang Manchester City dibatalkan oleh VAR (satu dari rules of the game) hanya karena selisih 1 inchi saja. Di akhir kompetisi kemudian terbukti bahwa selisih satu inchi itu membedakan siapa yang menjadi peraih trophy. Tapi apakah Liverpool boleh teriak-teriak menolak hasil kompetisi? Itulah gunanya rules of the game, itu gunanya ada wasit, yang sudah disepakati bersama, untuk memutuskan setipis apapun selisihnya antara gol atau tidak gol.

Liverpool 29 tahun ngga juara. Tetapi begitu kompetisi usai, meski telah mengerahkan segala kemampuan, Liverpool langsung mengucapkan selamat kepada City. Karena itulah inti dari kompetisi. Sportivitas. Bukan semata mengejar trophy. That is why I love Liverpool!

Sakit memang, apalagi ditambahin bully oleh orang-orang. Tapi Liverpool tetap berbesar hati dan mengangkat dagu. Bangga karena sudah mengerahkan yang terbaik yang bisa dilakukan.

Liverpool dengan cepat mengakui City memang sedikit lebih baik. Meskipun hanya sedikit, tetapi City tetap lebih baik. Karena juara hanya satu, City lah yang dapat trophy. Bayangkan kalau trophy nya lebih dari satu, dan setiap klub akan melakukan parade kemenangan sendiri-senidiri? Rules of the game sudah mengatur bahwa juara hanya ada satu. Tidak apa-apa. Mengakui Kehebatan City tidak mengurangi sedikit pun Kehebatan Liverpool. Dan yang pasti tidak mengurangi kecintaan para pendukung sejati nya. Pep Guardiola pun memberikan apresiasi kepada Liverpool. Karena daya juang Liverpool, City pun harus mengerahkan segala kemampuannya untuk meraih trophy. Semua saling mendukung. Tidak perlu ada bully.

Kalah itu memang sakit. Pendukung setia Liverpool pasti tahu rasanya. Secara psikologis kita berupaya menolak dan mencari pembenaran. Ego kita tersinggung. Tapi itu tidak benar. Sebelum mulai mengejar kemenangan, belajar dulu terima kekalahan. Saya mengajarkan itu kepada anak-anak ku.

Anakku suka main Catur. Sekarang umur 8 tahun. Sudah ikut kompetisi beberapa kali. Kalau main sama saya, insting orang tua ku sering ingin mengalah. Tapi saya selalu upayakan untuk main fair dan menang. Beberapa kali dia menangis karena kalah. Aku kuatkan hati. Saya mau dia menang karena memang layak menang. Hasil dari upaya nya sendiri. Mengerti bahwa nilai-nilai sportivitas lebih bernilai dari sekedar kemenangan.

Ketika dia menang, rasanya senang dan bangga. Dia dan saya. Tapi dia sudah belajar untuk tidak jumawa dan tidak bully lawan nya yang kalah. Saya ajarkan untuk setiap sebelum mulai bertanding, harus salaman dulu dan berkata 'may the best win'. Anakku, umur delapan, sudah mengerti arti sportivitas. Dia ngotot mengejar kemenangan, tetapi ketika kalah, langsung salaman dan mengucapkan selamat kepada lawannya. I love you, anakku!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun