Kita baru saja menyaksikan bagaimana Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, melantik ke-6 menteri baru, yakni  Sandiaga Uno sebagai Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial, Yaqut Cholil Quomas sebagai Menteri Agama, Budi Gunadi Sadikin sebagai Menteri Agama, Muhammad Lutfi sebagai Menteri Perdagangan, dan Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Pelantikan keenam menteri baru tersebut tentu saja membahagiakan kita semua sebagai warga negara. Sebab, menteri-menteri sebelumnya yang sudah di-reshuffle tidak menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Apalagi Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) sebelumnya, Edy Parowobo, yang tertangkap tangan KPK lantaran mengkorupsi dana bantuan sosial. Suatu kejahatan yang luar biasa.
Namun, fokus utama dalam ulasan kali ini, yakni terkait Menteri Pariwisata yang baru, Sandiaga Uno. Sandiaga, sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah mantan calon Wakil Presiden dalam Pilpres 2019 lalu yang juga adalah lawan Jokowi.
Hal ini memang tidak terlalu mengejutkan, karena Prabowo Subianto sudah terlebih dahulu masuk dan bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju. Tetapi menurut hemat penulis, diangkatnya Sandiaga sebagai Menteri Parawisata dan Ekonomi Kreatif, menunjukkan politik merangkul ala Jokowi yang semakin kental.
Politik merangkul ini, terutama merangkul Sandiaga, menimbulkan banyak tanya di masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul ke ruang-ruang publik dan media-media sosial, misalnya, untuk apa diadakan Pilpres tahun lalu kalau toh akhirnya Prabowo dan Sandiaga akhirnya bergabung?Â
Bisakah Sandiaga menjadi Menteri yang lebih baik dari menteri yang sebelumnya? Apakah para menteri yang baru bisa membawa perubahan atau numpang tenar saja di Istana? Waktulah yang akan menjawab sejumlah pertanyaan tersebut. Patut kita tunggu.
Tujuan dan dampak
Tujuan utama Jokowi merangkul dua mantan kompetitornya itu, yakni demi kebaikan dan kemajuan negeri ini. Sementara tujuan lainnya yang barangkali tak mau diungkapkan ke publik, yaitu untuk mengurangi suara-suara kritis terhadap pmerintah. Suara-suara kritis itu pada umumnya datang dari kubu pendukung Prabowo-Sandiaga yang sekaligus sebagai oposisi pemerintah.
Sebut saja misalnya, Fadli Zon, Fahri Hamzah, Amien Rais, Rocky Gerung, Rizal Ramli dan tokoh-tokoh lainnya yang selama ini sangat kencang dan keras dalam mengkritik Jokowi. Dan sekarang, setelah Prabowo bergabung ke dalam pemerintahan, tokoh-tokoh tersebut semakin melempem dan tak terlalu tajam dalam menyerang pemerintah.
Kalau pun mereka mengkritik, tapi tak setajam silet. Apalagi Fahri Hamzah yang kadang-kadang memuji Jokowi, dengan tujuan supaya semakin banyak masyarakat yang tertarik untuk bergabung ke partai Gelora yang baru saja didirikannya. Fahri sedang gencar-gencarnya membangun politik pencitraan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!