Mohon tunggu...
Dr Ing. Suhendra
Dr Ing. Suhendra Mohon Tunggu... Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Tinggal di Jogja, hoby travel dan baca. Sehari-hari sebagai konsultan, dosen dan pembina beberapa start-up

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

CERPEN: Ular dari Surga

8 Mei 2025   09:41 Diperbarui: 9 Mei 2025   07:50 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ular dari Surga (Foto: Canva pribadi)

ULAR DARI SURGA

Akhirnya Slamet bergembira bisa menjalin persahabatan dengan mbah Karto, sesepuh yang sering didengar petuahnya oleh orang kampungnya.

Saat Mbah Karto berkhotbah di rumah Tuhan, mata Slamet melirik seisi rumah ibadah dan sepertinya kata-katanya diserap ratusan jamaah setiap jumat siang. Raut muka jamaah menyirtakan bahwa kata-kata Mbah Karto bukan hanya diresapi, tetapi benar-benar dikumpulkan seperti kantung bekal seminggu penuh dan bukannya ditinggalkan begitu saja di pintu keluar seperti beban tak perlu.

Karena kata-katanya yang meyakinkan dan ada jamaah yang membuatnya viral di sosial media, Mbah Karto dari hari ke hari semakin terkenal. Warga banyak memanggilnya berkeliling khutbah dari kampung ke kampung. Mulai dari khutbah nikah, khutbah sukuran haji, khutbah selametan berbagai tema. Setiap kata-katanya bergelora, selalu diringi tepuk tangan warga yang menggema.

Ya, persahabatan dengan orang yang mahir berbicara seperti Mbah Karto membuat Slamet merasa terangkat dari kerumunan, membuat ia lebih dari sekadar rakyat biasa. Kondisi ini jelas lebih dari cukup membuat Slamet sangat bahagia.

Sesekali, jika Slamet berkenan membuka sedikit jendela waktu, dan tidak takut pada angin yang masuk, Slamet akan menikmati secangkir kopi hitam kecil di warung angkringan Omah Ngopi milik Mbok Parmi. Warung ini tak jauh dari tempat Mbah Karto biasanya berkhutbah.

Setiap Jumat Slamet selalu awal berdiri di halaman rumah ibadah yang luas. Setelah selesai, Slamet membiarkan jamaah lewat di hadapannya, seolah Slamet adalah jenderal pemenang yang menerima parade pasukan Mbah Karto atas namanya. Slamet menunggu sampai Mbah Karto muncul dengan pakaian jalanan biasa, yang ia kenakan tergesa-gesa setelah mengganti baju kebesarannya sebagai juru khutbah handal masjid kampung. Ritual ganti pakaian nyaris seperti sebuah penyamaran sempurna karena sejatinya Mbah Karto tidak ingin dikenali dan dibanjiri para penggemarnya.

Terkadang Slamet mencoba menebak dari raut wajah Mbah Karto, apakah lelaki tua itu puas dengan khotbahnya hari itu. Dalam diam, Slamet sering bertanya pada dirinya sendiri: apakah Mbah Karto berniat membuka jendela waktu jajak catatan khutbahnya itu, menyapa masa lalu dengan jujur, atau justru memilih menutup diri, berlalu tanpa kata. Atau Mbah Karto lebih lebih memilih mengkritik dirinya sendiri dalam sunyi, menerima pelajaran hidup dalam keheningan, agar tidak tergelincir ke dalam kehampaan yang lebih sunyi. Bagi Slamet, kata-kata dari mimbar suci bukan ajang pamer retorika, tetapi sebagai sajian ruhani. Bila Slamet menyantap dengan nikmat, maka Slamet merasa secara spirit tumbuh lebih kuat dan hidup tak mudah goyah.

Tapi hari ini berbeda. Mbah Karto keluar dari pintu masjid dengan keterlambatan lebih dari setengah jam dari biasanya, wajahnya bersinar dengan kepuasan diri. Sorak tepuk tangan yang spontan meletup seusai khotbahnya---meski sebenarnya dilarang di masjid itu dan telah ia redakan dengan isyarat tangan---masih melekat di jenggot rapi tiga harinya. Tepuk tangan itu bergema, jatuh ke trotoar, bergema kembali hingga ke gendang telinga Slamet. Mandi dalam rasa bahagia, Mbah Karto datang menghampiri Slamet dan memeluknya hangat. Slamet merasakan gairah dan sukacita menggelegak dari tubuhnya.

"Kita pergi ke Omah Ngopi" kata Mbah Karto. "Tapi bukan untuk kopi hitam biasa. Hari ini kita rayakan dengan segelas wedhang jahe atas keberuntunganku. Aku ingin membagikan kebahagiaan ini padamu---meski kau mungkin tak pantas mendapatkannya---dan kuceritakan kisah yang kualami, seolah ia adalah permadani terbang dari Timur."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun