Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi Mengingkari Putusannya Sendiri

14 Desember 2022   17:56 Diperbarui: 14 Desember 2022   22:29 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan Skizofrenia

Mahkamah Konstitusi membuat Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022. Putusan tersebut bukan saja mempersamakan Calon Kepala Daerah (Cakada) dengan Calon Legislatif (Caleg). Lebih daripada itu, MK dengan putusan ini memandang bahwa rakyat tidak cukup cerdas dalam menentukan pilihan dalam Pemilu yang demokratis dengan asas LUBER dan JURDIL.  Karena putusan tersebut menjadikan pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa "tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Ketentuan yang bersifat alternatif ini sesungguhnya selaras dengan prinsip demokrasi : dari, oleh dan untuk rakyat, dimana rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dan berkuasa penuh atas masa depan bangsa dan negaranya. Dan ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g pada Undang-undang Nomor 7/2017 ini sesuai dengan putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 pun masih selaras, akan tetapi bertolak belakang dengan putusan Nomor 87/PUU-XX/2022. 

Dalam putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan pengecualian, yaitu bukan untuk jabatan-jabatan public yang dipilih (elected official) selama tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh pengadilan, baik hak memilih maupun hak dipilih. 

Selanjutnya, pada putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019, MK menambahkan klausul pengakuan secara terbuka kepada public menjadi kumulatif namun membedakan antara persyaratan Cakada dengan Caleg, sementara pada putusan Nomor 71/PUU/XIV/2016; putusan Nomor 42/PUU-XII/2015; dan putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 terkait dengan pengakuan secara terbuka bersifat alternatif bukan kumulatif. 

Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 dalam pokok pertimbangan dari Pemohon didasarkan kepada kekhawatiran, imajinasi / khayalan, atau semacam skizofrenia atau sikap paranoid. Realitas tersebut bertolak dari dalil yang dikemukakan oleh pemohon yang mendalilkan bahwa terjadi kenaikan 0,15 poin indeks persepsi anti korupsi dari masyarakat dari tahun 2020 sampai dengan 2021, dimana masyarakat perkotaan lebih anti korupsi dibandingkan pedesaan dan tingkat pendidikan masyarakat memiliki pengaruh posistif terhadap persepsi.  Artinya, bila merujuk pada dalil pemohon, sejatinya MK justru menegaskan kembali putusan sebelumnya yang menjadikan pengakuan secara terbuka sebagai norma alternatif sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 240 ayat (1) huruf g UU No.7/2017, serta putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009; putusan Nomor 42/PUU-XII/2015; dan putusan Nomor 71/PUU/XIV/2016 dengan menolak keseluruhan permohonan pemohon. Sebab, dengan adanya peningkatan kesadaran anti korupsi secara signifikan, lebih dari 70 persen, maka pilihan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk memilih atau tidak memilih mantan Terpidana pada saat pemilu. Sehingga norma alternatif pada pasal 240 ayat (1) huruf g pada UU No. 7/2017 tentang pemilu adalah sejalan dan selaras dengan prinsip negara hukum dan nilai-nilai demokrasi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai penentu awal dan akhir dari konstitusi.

Dengan putusan Nomor 87/PUU-XX/2022, MK telah melakukan pembenarkan atas pencabutan hak sipil dan politik terhadap mantan Terpidana melalui putusannya, dimana pemohon menyatakan bahwa pokok permohonannya tidak bertentangan dengan Konvesi Hak Sipil dan Politik bila mantan Terpidana dibatasi / dikurangi haknya sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon. Dan pemohon mendalilkan bila pengurangan hak terhadap mantan Terpidana tidak bertentangan dengan pasal 6,7,8 ayat (1) dan (2), 11, 15 dan 18 yang ada dalam konvensi hak sipil dan politik. 

Jadi Putusan MK menganggap bahwa hak politik mantan Terpidana sebagai hak yang dapat dibatasi (derogable right), namun melupakan bahwa pengurangan / membatasi hak sipil dan politik tidak boleh mengandung diskriminasi berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal usul social sebagaimana diatur pasal 4 ayat 1 dalam konvensi hak sipil dan politik. Dan patut di ingat bahwa mantan Terpidana adalah warga negara dengan kewajiban yang sama layaknya warga negara Indonesia lainnya. Jadi, MK kurang mendalami yang dimaksud dengan asal - usul sosial sebagai syarat untuk membatasi / mengurangi hak sipil dan politik. 

Dan sekali lagi, bukankah status Terpidana merupakan kondisi sosial yang ada ditengah-tengah kondisi sosial masyarakat, sehingga status mantan Terpidana adalah asal-usul sosial yang tidak boleh di diskriminasi oleh siapapun. Selain daripada itu, Terpidana tidak kehilangan hak politiknya kecuali dinyatakan oleh putusan pengadilan, dalam arti, Tahanan dan Terpidana tetap memiliki hak memiilih dalam pemilihan umum. Tetapi, kenapa setelah bebas dan kembali ke masyarakat justru diperlakukan secara diskriminatif, tidak boleh di pilih atau di persulit untuk ikut  menjadi kontestan pemilu yang demokratis!  

Padahal, Terpidana ataupun mantan Terpidana berhak dipilih dan memilih berdasarkan pasal 43 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa "setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan peundang - undangan."

Selain dalil yang bersifat skizofrenia tersebut diatas, pemohon kembali mendalilkan bahwa diperbolehkan mantan Terpidana untuk menjadi Cakada dan Caleg bisa menyebabkan abuse of power dan menciptakan angka GOLPUT yang tinggi. Suatu dalil yang mengingkari realitas bahwa Indonesia adalah negara hukum yang dijalankan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan berdasarkan konsep Trias Politica. Sekali lagi ini adalah dalil skizofrenia yang dibenarkan oleh Hakim Mahkamah. Skizofrenia merupakan gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfikir, merasakan, dan berperilaku dengan baik. Akibatnya, keputusan yang timbul lebih dipengaruhi oleh emosi, bukan oleh alasan yang jelas. Artinya, Pemohon dan Mahkamah Konstitusi sama-sama tidak memiliki data yang cukup akurat atas dalil tersebut. Tidak ada data yang cukup komprehensif bahwa calon dari mantan Terpidana berkorelasi dengan praktek abuse of power dan tingginya angka GOLPUT selama periode tertentu.

 Tidak ada studi komparatif antara mantan Terpidana yang terpilih dalam pemilu dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang melakukan abuse of power setelahnya. Dan tidak ada komparasi antara keberadaan Cakada / Caleg mantan Terpidana dengan peningkatan Golput atau rendahnya partisipasi pemilih pada saat pemilu.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun