Simplifikasi semacam ini bisa menyesatkan, karena kemudahan seseorang untuk menjadi  Mualaf, kemudian diasosiasikan sama di setiap agama, apalagi bagi umat Islam yang belum bisa membedakan mana budaya, mana tata cara peribadatan (liturgi), dan mana pesta perayaan di agama lain.
Bahkan, boleh jadi dengan agamanya sendiri juga tidak begitu memahami. Sehingga gampang di provokasi untuk membangun sentimen primordial yang dapat mengganggu ukhuwah Islamiyah (saudara seiman) dan ukhuwah Watoniah (saudara sebangsa) yang seharusnya dijaga dan dirawat bersama. Oleh sebab itu, memberikan pemahaman yang utuh sekaligus menghindarkan diri dari prasangka membutuhkan keuletan sekaligus kesabaran.
Sebab itu, menarasikan pengucapan selamat natal sebagai praktek tauhid merupakan asumsi yang dinarasikan ke publik sebagai bagian dari upaya membangun fanatisme, ekstrimisme, dan eksklusifisme yang dapat menimbulkan segregasi ditengah-tengah umat Islam, bangsa dan negara. Tentu hal itu tidak sejalan dengan firman Allah SWT, berikut ini :
"Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang baik, kecuali diantara orang-orang yang dzalim diantara mereka, dan katakanlah, kami telah beriman kepada yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan mu satu; Dan hanya kepadaNya kami berserah diri." (QS. 29:46)
Sementara rangkaian perayaan Natal tidak ubahnya dengan Hari Raya pada umat Islam, ia memiliki acara liturgi (peribadatan) semacam sholat Ied yaitu rangkaian Misa, dimana hanya pemeluk agama Nasrani atau Kristen yang bisa mengikuti. Selebihnya adalah perayaan yang bisa dilakukan dengan cara saling berkunjung, makan atau menikmati libur bersama dengan mudik ke kampung halaman masing -masing.
Hal ini sifatnya adalah habblum minannas atau hubungan horisontal sesama manusia, jadi bisa saja terbuka untuk umum, kecuali memakan makanan yang diharamkan oleh ajaran Islam semacam memakan Babi beserta jenis makanan (olahan) atau turunan yang berasal dari jenis makanan tersebut.
Jadi perayaan natal memiliki dua aspek yaitu praktek Liturgi atau peribadatan yang berkaitan erat dengan masalah akidah masing-masing agama dan praktek sosial yang memungkinkan untuk dijalani bersama sebagai sesama manusia beragama.
Artinya, manusia beragama tidak boleh tuna sosial. Dan mengucapkan selamat merayakan hari natal merupakan praktek sosial sebagai sesama manusia. Sebab, Misa Natal sebagai Liturgi Natal bersifat sakral dan biasanya hanya dilakukan di Greja. Istilah Liturgi berasal dari bahasa Yunani, leitourgia artinya kerja bersama yang mengandung makna peribadatan kepada Allah dan pelaksanaan kasih. Istilah liturgi lebih banyak digunakan dalam tradisi Nasrani (Kristen dan Katolik). Liturgi ini sama dengan syarat dan rukun sholat bagi umat islam, baik pada sholat hari-hari raya maupun sholat Jum'at dan sholat lima waktu yang dilakukan setiap hari. Sehingga memberi atau menerima ucapan selamat natal berada diluar liturgi natal.
Narasi bahwa mengucapkan selamat natal identik dengan praktek mencampur adukan keyakinan (tauhid) sebagaimana dikhawatirkan oleh sebagian orang adalah pandangan kurang tepat dalam memahami surat Al Kafirun (QS.109). Pemahaman secara hitam putih tanpa memperhatikan konteks diturunkannya surat tersebut bisa membuat umat islam tuna sosial. Surat Al Kafirun tersebut berbunyi :
"Katakanlah (Muhammad), Wahai orang-orang kafir! Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah apa yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Perlu diketahui bahwa surat Al-Kafirun diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai jawaban tegas dari Allah SWT atas ajakan kaum Kafir Quraisy - Mekkah untuk berkompromi. Kaum Kafir Quraisy pada waktu itu menawarkan kepada Nabi Muhammad SAW agar menyembah apa yang mereka sembah selama setahun penuh dan sebagai balasannya mereka pun akan menyembah apa yang nabi Muhammad SAW sembah. Artinya terjadi pembauran secara mutlak dala