Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Roti dan Sirkus Menjelang Kebangkitan Naga bersama Pasukan Berani Mati Takut Lapar

11 April 2020   00:31 Diperbarui: 17 Juni 2023   20:35 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Merebaknya wabah Covid - 19 yang diikuti dengan upaya pencegahan dengan melakukan Sosial Distancing dan Stay at Home atau istilah terbarunya, PSBB (pembatasan sosial berskala besar) memiliki dampak secara sosial ekonomi yang mulai dirasakan ditengah-tengah rakyat. Bukan sekedar kelangkaan masker dan sejumlah alat pelindung diri (APD) yang terjadi, tetapi naiknya harga kebutuhan dasar juga menyertai. Dan belakangan para pelaku ekonomi khususnya sektor riil dan ritel mulai memprotes penutupan sejumlah tempat usaha semacam pasar tradisional. Dalam berbagai aksi protes yang mereka lakukan terlontar teriakan - teriakan, "dirumah sudah tidak ada beras lagi untuk dimakan, uang kami sudah habis, enak PNS (pegawai negeri sipil) tinggal dirumah tapi terima gaji, apa bedanya mati karena Corona dengan mati karena tidak bisa makan." Sedangkan pengusaha menyatakan hanya sanggup bertahan sampai bulan Juni 2020. Aspirasi tersebut menegaskan bahwa kondisi rakyat sudah dalam kekalutan yang mengarah anarki atau lebih buruk lagi, terjadi chaos.

Anarki bukanlah chaos. Anarki adalah sebuah pemikiran politik yang tidak mencari keuntungan dari orang lain melalui tindakan kekerasan. Melakukan tindakan kekerasaan tanpa tanggung jawab bukan pergerakan seorang anarkis. Seorang anarkis akan mengatur agar anarki (absence of rulers), menjadi sebuah bentuk baru sistem sosial untuk mengedepankan kebebasan individu dan persamaan sosial. Peter Kropotkin mendefinisikan anarki sebagai sosialisme tanpa pemerintah. Dengan kata lain, sebuah penghapusan dari tindakan eksploitasi serta penindasan manusia oleh manusia. Sedangkan chaos lebih banyak dipahami sebagai kondisi kacau yang menakutkan dan menyeramkan, semacam kerusuhan dan huru - hara. 

Kemungkinan terjadinya suatu anarki atau chaos bisa didekati dari pendapat para ahli. Stephen Smale sebagai seorang ilmuan berpendapat bahwa sesempurna apapun suatu sistem dapat dipastikan chaos selalu ada, membayangi. Begitu sistem mencapai puncak titik kritisnya maka ia akan lepas kendali, memporak porandakan kemapanan. Pandangan senada dikemukakan oleh seorang ahli meteorologi, Edward Lorenz, yang berkesimpulan bahwa kesalahan kecil ditahap awal akan mendorong kepada kesalahan yang lebih besar, begitu seterusnya berakumulasi sehingga menjadi tumpukan kesalahan dikemudian hari.

Pemerintah Indonesia baru-baru ini mengumumkan adanya jaring pengaman sosial sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang keuangan negara. Pemerintah mengajukan penambahan anggaran belanja dalam APBN 2020 untuk penanganan Covid-19 dengan nilai total mencapai Rp 405,1 triliun. Dengan alokasi Rp 75 triliun untuk belanja bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk perlindungan sosial, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan serta stimulus kredit usaha rakyat, dan Rp 150 triliun untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional. 

Pada saat yang sama pemerintah telah menerbitkan surat utang dengan denominasi dolar yang terdiri dari 3 jenis surat utang dengan tenor terpanjang mencapai 50 tahun. Adapun nilainya mencapai US$ 4,3 miliar atau Rp 68,6 triliun (kurs Rp 16.000). Disisi lain pelaku usaha dan industri telah melakukan PHK atau merumahkan ratusan ribu karyawan akibat wabah Covid-19. Pengangguran korban PHK ditambah dengan para pekerja informal yang dirumahkan melalui PSBB dengan jumlah yang tidak terhitung akan memperbanyak jumlah kaum berani mati takut lapar. Kelompok berani mati takut lapar merupakan segmen paling besar populasinya ditengah wabah Covid - 19 di tanah air. Apabila sebelumnya mereka bertahan hidup dengan cara kerja serabutan, bekerja sehari untuk makan sehari, dengan kondisi terkini mereka tidak akan bisa bayar kosan / kontrakan, tidak bisa mencari nafkah tambahan lagi, tidak bisa bayar tanggungan atau cicilan yang sudah terlanjur “gali lobang tutup lobang” sejak jauh hari sebelumnya, dan sejumlah kesulitan sosial ekonomi lainnya.

Situasi diatas mengambarkan bahwa Indonesia sedang mengalami kesulitan keuangan. Usulan pemerintah untuk tambahan belanja negara sebesar Rp 405,1 triliun ditengah penerimaan negara yang menurun dengan proyeksi turun sampai 10 persen pada tahun ini adalah satu pokok permasalahan. Dan disisi yang lain lagi terjadi defisit anggaran yang melebar ke 5,07 persen terhadap PDB, menurut menteri keuangan. Pada saat yang bersamaan rakyat semakin banyak yang mengalami keterpurukan kehidupan sosial ekonominya. Bahkan lebih daripada itu, kesulitan menjamin keberlangsungan hidupnya. Nilai jaminan sosial yang diberikan tidak akan mampu menjawab kebutuhan dasar harian mereka apabila tidak ada aktivitas ekonomi yang bisa dilakukan agar “dapur tetap ngepul.” Sebab, sudah terlalu lama kesulitan mendera rakyat Indonesia. Tidak banyak yang memiliki tabungan agar mampu bertahan dimasa panceklik seperti yang akan menimpa sebagian besar rakyat dimasa-masa yang akan datang. Sebab sebagian besar rakyat telah terjebak dalam kesulitan ekonomi selama beberapa tahun terakhir, bahkan ada yang sudah berpuluh tahun bertahan hidup dengan cara bekerja hari ini untuk makan hari ini, sekali waktu bisa cukup untuk keesokan harinya. Puncak kesulitan itu akan semakin mengkristal pada saat bulan Ramadhan dan Lebaran.

Menyikapi situasi semacam ini, para pemain sirkus akan kembali menyuguhkan atraksi akrobatiknya guna menghipnotis rakyat agar bisa teralihkan dari segala persoalan yang mendera mereka. Roti dan sirkus (bread and circus) merupakan praktek kekuasaan yang telah ada sejak era romawi. Hal itu dianggap teknik paling jitu dalam rangka mengalihkan perhatian rakyat dari masalah yang mendera mereka. Dimasa romawi ada sebuah roti bernama Annona yang diberikan pemerintah secara gratis dengan sayur sayuran kepada rakyat roma. Pemerintah roma juga menyediakan sebuah sirkus balapan kuda yang bernama Circus Maximus.  Dua pendekatan ini menjadi dasar konsep "roti dan sirkus" dimana rakyat ditenangkan dengan biaya murah agar kesadaran atas situasi yang melingkupi diri dan kehendak merubah memperbaiki keadaan akan raib berkat roti yang diberikan dan sirkus yang dipertontonkan. Rakyat roma melupakan bahwa semua sumber petaka yang mereka alami adalah sang penguasa itu sendiri, bahkan sebaliknya, sang penguasa dapat dianggap sebagai “dewa penolong”.  Hilangnya sikap kritisi rakyat diikuti pula oleh keterbelahan akibat segregasi yang dilancarkan terhadap mereka yang tetap bersikap kritis serta berpegang pada prinsip. 

Di Indonesia praktek roti dan sirkus sangat masif dari zaman ke zaman, mulai dari masa kolonial sampai kini. Tidak sama persis tetapi secara prinsip tidak ada perbedaan. Akibatnya, roda kemajuan menjadi stagnan, banyak orang memilih pasif, bungkam menjadi urat nadi sendi-sendi kehidupan, sedangkan para oportunis layaknya para pemain akrobat yang memainkan peran menjilat ke atas dan meludah ke bawah agar sang tuan senang. Hiburan rakyat  atau Sirkus dimasa kini bukan sekedar sinetron atau humor di televisi, tetapi mengelola citra, opini dan berita merupakan bentuk lain dari praktek sirkus dengan segala narasi yang diperankan oleh para rent seeker sebagai aktor pendukungnya. 

Pada masa kolonialisme dibungkam dengan praktek pecah belah, devide et impera. Dimana segelintir kelompok kelas menengah direkrut dengan diberi embel-embel pangkat dan jabatan agar memperoleh jatah remah-remah jarahan kolonialis yang dirupakan sebagai honor atau berupa gaji bulanan. Mereka itu adalah para kaki tangan yang begitu setia menghamba kepada si kolonialis yang telah mengeksploitasi bangsa dan saudaranya sendiri. Menyiksa, mempersulit, memfitnah, main tangkap dan penjarakan saudara sebangsanya merupakan praktek keseharian para kaki tangan kolonialis, antek, amtenar. Bahkan untuk membuat si tuan kolonialis senang, kambing hitam adalah menu harian yang paling lazim dijalankan sebagai bagian dari intrik agar tetap dipercaya sebagai “wach dog”. Imajinasi pun menerawang siapa kolonialis jaman sekarang dan siapa saja para wach dog tersebut. Tulisan ini belum akan mengupas hal tersebut, semoga ada kesempatan lain untuk membuat ulasan yang lebih memadai tentang hal itu.

Setelah sekian lama orang pintar, intelektual asongan, sibuk dengan angka-angka tentang kemiskinan dimana kesahihan angka tersebut seingkali menjadi pro kontra, bahkan permainan indikator untuk memanipulasi fakta seringkali jadi perdebatan -- walaupun sesungguhnya mudah saja untuk memastikan yaitu dengan mendatangi perkampungan kumuh, pasar-pasar tradisional, atau pelaku usaha mikro -- tetap tidak menemukan dukungan validitasnya. Pemainan angka-angka itu tetap akan jadi pro kontra sepanjang waktu, layaknya komedi putar yang biasa ada di dunia sirkus. Sementara rakyat yang kerja sehari untuk makan sehari selama tetap bisa melakukan aktivitas mencari nafkah dari sektor-sektor informal, seperti tukang parkir, pemulung, polisi cepek atau pak ogah, sampai pedagang kaki lima, atau pengepul judi online, pengedar narkoba eceran, traficking online tidak akan terpengaruh oleh angka spektakuler yang disajikan. Mereka identik dengan sosok yang menerabas semua aturan ketertiban dan sekat kemapanan demi bertahan hidup. Namun dengan dampak Covid -19 berikut dengan kebijakan yang menyertai justru banyak menimbulkan kekalutan dan masalah baru. Kekalutan demi kekalutan itu akan menemukan puncak klimaks yang bisa menjadi chaos atau revolusi.

Chaos dan revolusi adalah dua hal yang berbeda, tetapi di tangan yang terampil, cerdas, berani, dan visioner sesungguhnya kondisi chaos bisa menjadi suatu dinamika yang dapat berkembang lebih jauh daripada itu. Protes yang dilandasi kekalutan akibat kesulitan ekonomi sebagai bentuk aksi spontan merupakan embrio terhadap tumbuhnya kesadaran revolusioner rakyat.  Memang, situasi yang ada ditengah-tengah rakyat yang melakukan aksi spontanitas masih merupakan ekspresi kesadaran subyektif yang dihadapi, belum menjadi kesadaran progresif untuk melakukan suatu aksi revolusioner. Aksi spontan yang dilakukan oleh rakyat akibat Covid -19 walaupun belum merata secara nasional tetapi dapat menjadi embrio timbulnya kerusuhan yang eskalasinya bisa meningkat dalam skala besar. Aksi protes dan kerusuhan paling primitif sekalipun bisa di provokasi, di manipulasi, dan diarahkan agar menjadi suatu kesadaran kolektif dalam rangka melakukan suatu tindakan revolusioner atas permasalahan yang lebih mendasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun