Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pelanggaran HAM di Papua, Antara Idea dan Realita

7 Juli 2018   08:57 Diperbarui: 4 September 2018   13:31 1767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persoalan mendasar di Papua, adalah lemahnya komitmen atas politik kebijakan penegakan hukum, oleh aparat penegak hukum, baik ditingkat pusat maupun daerah, sehingga mengakibatkan terjadinya persoalan ketidakadilan di masyarakat. Keadaan seperti ini jika dibiarkan terus menerus, bertahun-tahun dapat mengakibatkan, masyarakat tidak percaya dengan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah, sekaligus tidak percaya dengan hukum positif yang berlaku (distrust), pada akhirnya masyarakat akan mencari keadilan berdasarkan persepsinya masing-masing, tentunya  antara lain pilihan merdeka sebagai solusinya sulit terhindarkan.

Lebih-lebih dalam kenyataannya Organisasi Papua Merdeka aktual dan faktual telah diyakini ada, baik oleh masyarakat Indonesia maupun oleh dunia Internasional sebagai kelompok bersenjata. Meskipun demikian keberadaan OPM seakan-akan tidak tersentuh oleh hukum, keberadaannya selama ini nyaris tidak tersentuh oleh penegakan hukum (law enforcement) . Sesungguhnya faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya, belum banyak diketauhi secara pasti, apakah terkait dengan faktor politik, maupun faktor-faktor terkait lainnya. Disisi yang lain, OPM dalam perspektif hukum pidana, sudah dapat dikwalifikasi sebagai kelompok “Separatis” , dari aspek teorisasi hukum pidana perbuatan pelaku (actus reus) dan dari aspek sikap batin (mens rea) dapat digolongkan sebagai perbuatan makar bersenjata sehingga seharusnya, aparat penegak hukum tidak perlu perintah dari Presiden, sudah dapat mengambil tindakan penegakannya tergantung dari spektrum permasalahannya.

Jika kita merujuk kepada hukum positif yang berlaku, secara normatif berdasarkan Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang Tugas Tentara Nasional Indonesia selain berperang tugas TNI juga melakukan pemberantasan terhadap separatisme. Dengan demikian membawa konsekuensi, TNI secara hukum dapat melakukan tindakan penegakan dalam memberantas kelompok separatis. Sudah barang tentu, dalam pelaksanaannya harus memperhatikan, keadaan situasi dan kondisi, misalnya pihak kepolisian selaku penyidik, tidak dapat menjalankan tugasnya mengingat wilayah hukumnya telah dikuasai oleh kelompok separatis sehingga tidak memungkinkan penyidikan dilakukan.

Study Komparasi, sebagai suatu perbandingan bahkan kelompok separatis, dapat dikategorikan sebagai kelompok atau organisasi teroris dan aksinya sebagai aksi terorisme, mungkin sekali hal tersebut dipengaruhi oleh Inggris (UK) yang berusaha memberantas IRA yang menuntut kemerdekaan Irlandia Utara dari Inggris. Tentu saja aksi-aksi yang dilakukan oleh IRA modus operandinya dikategorisasikan sebagai aksi terorisme.

Dalam proses penegakan hukum (law enforcement)  pilihan-pilihan hukum (choice of law) , penyidik kepolisian bisa saja menjerat para pelaku kriminal bersenjata dengan menggunakan UU Senjata Api dapat juga menggunakan UU Terorisme, Kitap Undang-Undang Hukum Pidana, Yurisprudensi Mahkamah Agung, dan sumber-sumber hukum terkait lainnya. Jadi sama sekali tidak beralasan jika lemahnya penegakan hukum karena tidak tersedianya UU yang memadai (lemahnya substansi hukum). Lemahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan aparat penegak hukum tidak berani menggunakan hak-hak diskresioner secara independen.

Apa salahnya misalnya, jika Kapolri dan/atau Kapolda khusus untuk wilayah Papua melakukan tindakan hukum, berupa maklumat pelucutan senjata yang dimiliki oleh sipil secara menyeluruh dan spesifik. Dalam spektrum penegakan hukum dalam bentuk apapun, tidak perlu melibatkan Presiden, terkecuali Negara dalam keadaan tidak normal (darurat). Pelibatan Presiden dalam proses penegakan hukum berpotensi, menimbulkan dampak politik, yang dapat mengakibatkan tidak independennya aparat penegak hukum dalam menegakkan hukum (Polisi, Jaksa, Hakim). Sudah saatnya, Presiden RI sebagai Kepala negara sekaligus selaku Kepala Pemerintahan, tidak perlu intervensi baik langsung/tidak langsung, terhadap seluruh proses penegakan hukum baik pada ranah keperdataan/kepidanaan.

Seandainya dalam kenyataannya, Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian (Kapolri) tidak sanggup mengemban amanah, sebagai penegak hukum, Presiden wajib segera mengganti, dengan alasan tidak cakap, dan berpotensi merugikan kepentingan Presiden, dalam menjalankan kekuasaannya, baik selaku Kepala Negara / Kepala Pemerintahan. Sekalipun Ketua Mahkamah Agung RI, Ketua Mahkamah Konstitusi RI jika dipandang tidak cakap Presiden dan Ketua DPR RI dapat melakukan penggantian berdasarkan pertimbangan asas kemanfaatan bukan hanya alasan karena melakukan tindak pidana korupsi. Tentu, akan lebih baik dengan mempertimbangkan asas kemanfaatan, tanpa melalui penggantian karena pemecatan, ditradisikan atau dibiasakan untuk mengundurkan diri, secara arif dan bijaksana, dengan menyadari bahwa dirinya disebabkan oleh beberapa faktor, tidak memiliki kemampuan untuk melakukan penegakan hukum.   

Dari perspektif hukum, Papua adalah wilayah NKRI, berdasarkan hukum internasional, telah memiliki landasan, yang tidak perlu diperdebatkan, dan tidak ada alasan secara hukum, untuk meminta merdeka. Papua dan provinsi-provinsi lainnya adalah satu kesatuan wilayah negara yang terintegrasi dalam sistem hukum nasional. Papua pada saat ini dianggap keadilan masih langka dan kemiskinan masih menghantui sebagai momok yang menakutkan, sementara sumber daya alam melimpah ruah, adalah semata-mata kesalahan pengambilan kebijakan oleh penguasa, bukan salahnya Papua sebagai bagian dari wilayah NKRI.

Laporan Amnesty Internasional, yang seolah-olah menganggap TNI/POLRI bersalah, harus diambil hikmahnya, sebagai bentuk introspeksi diri, untuk lebih berhati-hati dalam menjalankan penegakan hukum di Papua. Presiden jangan sampai terpengaruh oleh komunitas internasional, dalam melaksanakan kedaulatan hukum di negara sendiri. Penegakan hukum, yang dilakukan oleh aparat penegak hukum di papua, adalah bentuk kedaulatan hukum, bagi suatu negara yang bebas, dan merdeka. Jika Amnesty Internasional, menduga terdapat pelanggaran HAM di papua, Indonesia sebagai negara hukum, memiliki standarisasi hukum tersendiri, tidak harus tunduk dan mengikuti apa yang dikehendaki oleh kelompok komunitas Internasional, katakanlah misalnya tekanan dari Amnesty Internasional.

Penutup

Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia, Jika peristiwa pidana yang terjadi di Papua, oleh aparat penegak hukum, yang berkompeten, dinyatakan sebagai bentuk perbuatan pidana umum dan/atau bentuk pidana khusus adalah sah. Bahkan sebaliknya, jika suatu peristiwa pidana dianggap tidak cukup bukti, suatu perkara dapat diterbitkan surat perintah penghentian penyidikan. Dalam proses penegakan hukum, Jika aparat penegak hukum lemah, dan tidak tegas, maka akan berakibat menimbulkan tafsir hukum, yang bersifat liar (akrobatik), yang akan dilakukan oleh masyarakat. Bahkan masyarakat akan menentukan dan mencari sendiri dengan tafsirnya atas apa yang dimaksud keadilan itu. Indonesia merdeka bukan diperoleh karena hadiah dari komunitas internasional tetapi diperoleh dengan cara berjuang merebut kemerdekaan dari kekuasaan kolonial, nyawa dan darah yang menjadi taruhannya.  Pengorbanan jiwa dan raga oleh Para Pahlawan di seluruh nusantara termasuk para pahlawan yang berasal dari tanah Papua yang kita cintai.

 

Artikel Lainnya : OpiniHardi

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun