Mohon tunggu...
Suhandi Hasan
Suhandi Hasan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Achiver

Ambonese (de yure), Celebes (de facto)

Selanjutnya

Tutup

Analisis

73 Tahun Merdeka, Kita Butuh Perenungan Bukan Perayaan

18 Agustus 2018   02:25 Diperbarui: 18 Agustus 2018   03:44 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.berdikarionline.com

Selamat ulang tahun Indonesia yang ke-73. Usia yang tidak lagi mudah untuk selalu dirayakan tapi belum juga terlalu tua untuk direnungkan. Merayakan boleh saja, tapi jangan sampai berEuforia. Karena sejatinya euforia di usia tujuh puluh tiga itu sudah kadaluarsa. Tujuh puluh tiga kali sudah Indonesia memperingati  kemerdekaan, dengan perayaan yang sama setiap tahunnya. Maka jangan heran jika kondisi bangsa ini begini-begini saja.

Tak bisa dipungkiri bahwa perjalanan bangsa ini sampai pada tahao ini selalu diiringi msalah, tetapi jika masalah yang dihadapi adalah persoalan yang sama sejak merdeka sampai sekarang. Jelas kita lebih memerlukan perenungan daripada perayaan. Maka sesekali kita jangan tanyakan apa yang telah kau berikan pada Negara tapi tanyakanlah apa yang Negara tidak berikan padamu. Sebab tak bisa dipungkiri masalah utama kita adalah masalah yang sama dan sudah ada sejak dahulu. Kita boleh saja merdeka dari penjajah, tetapi masih ditawan masalah yang sama sejak zaman penjajahan .

Pertama; Kita Merdeka Tapi Tak Bebas Mengelola SDA

Pasal 34 ayat (3) secara jelas menyebutkan bahwa "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" sudahkah demikian?

Secara kasat mata kita bisa melihat bahwa SDA Negara ini masih dikuasi oleh bangsa asing atau anak negeri yang bermental kompeni. Lihatlah betapa rumitnya jalan yang kita tempuh dalam upaya mengambil kembali hak kita dalam pengelolaan SDM. Misalny  kasus yang terjadi pada PT Freeport Indonesia.  Agar dapat menguasai saham sebesar 51%, bangsa ini harus memberikan sejumlah uang yang tidak sedikit. Padahal masa kontrak perusahaan tambang yang belokasi di Papua ini akan berakhir dalam beberapa tahun mendatang. Namun, kontraknya diperpanjang dan kita malah harus membayar agar bisa menguasainya. Padahal PT Freeport adalah penyewa lahan yang mengelola hasil tambang terbesar nomor dua di dunia dan SEBESAR-BESARANYA untuk kemakmuran bangsa lain bukan Indonesia . Kita sudah merdeka tapi hak kita atas bumi dan yang terkandung di dalamnya masih terjajah. 

Kedua; Kita Merdeka Tapi Dibelenggu Politik Transkasional  

Politik itu baik, namun tidak dengan poliTIKUS. Lihat saja bagaimana Prof. Mahfud MD menceritakan perihal tidak terpilihnya beliau sebagai cawapres Jokowi, seakan kontak Pandora sudah terbuka. Dalam acara diskusi politik yang di pandu oleh Karni Ilyas, Pak Mahfud menceritakan bagaimana dirinya yang sudah hampir pasti mendaftrakan diri ke KPU sebagai pendamping pak Jokowi, kemudian "ditikung" oleh Kiyai Ma'ruf Amin di putaran terakhir mendekati garis "finish" dengan alasan jika cawapres Jokowi pada PILPES 2019 bukan dari golongan NU, maka NU tidak akan bertanggung jawab secara moril perihal yang kan terjadi pada PILPRES mendatang.

Selain itu, mantan ketua MK ini menyebutkan bahwa ketua NU, K.H Said Aqil Siraj mengatakan bahwa dirinya bukan orang NU. Padahal pada PILPRES 2014 pak Mahfud dikatakan sebagai Kader NU yang sekaligus ketua Timses Prabowo pada waktu itu. Kita boleh saja merdeka, tapi nasib kita masih ditentukan dari transaksi politik. 

Ketiga; Kita Merdeka Tapi Perekonomian Kita Tertindas

Bangsa ini ditindas utang. Jika kita melihat rasio utang bangsa Indoneia sekarang ini ialah 27% dari Gross Domestic Product (GDP) sekitar Rp. 13.000 Triliun  maka posisi utang bangga bangsa Indonesia ialah sebesar Rp. 4.200 Triliun. Jumlah ini, jika dibankan kepada setipa warga Negara, maka bayi yang baru lahir atau balita yang belum memiliki KTP sudah harus menanggung utang sebesar Rp. 13 Juta.

Ketertindasan selanjutnya ialah pada kondisi lemahnya posisi tawar Rupiah terhadap Dollar yang berada pada kisaran 14.500 Rupiah per Dollar.  Memang tak bisa disangkal bahwa kondisi ketidakberdayaan ini juga dihadapi oleh Negara lain, namun gejolak ini di Indonesia terus meningkat dalam setahun terakhir dan menghawatirkan. Secara sederhana, dampak tingginya nilai utang dan lemahnya rupiah ialah meroket harga-harga bahan pokok yang ujung-ujung ialah meningkatkan angka orang miskin. Kita merdeka, tapi perekonomian kita ditindas tanpa ampun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun