Mohon tunggu...
Suhanderi
Suhanderi Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara -

Membaca membebaskan belenggu kebodohan, Menulis mengukir sejarah hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bahaya Laten Stimulus Wow Effect Korupsi

2 November 2017   00:41 Diperbarui: 2 November 2017   00:56 1552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Setiap orang punya masalah. yang harus dilakukan adalah merespon masalah itu, bukan menghindari masalah. Orang miskin punya masalah makan apa besok?? Orang kaya punya masalah makan dimana besok??". Kalimat mengalir indah dari radio mobil yang saya tumpangi saat melaksanakan pengawasan ke salah satu kabupaten di Provinsi Bengkulu, cukup membuat tertegun. Ditengah ketertegunan, mata saya menangkap sosok anak kecil (kira-kira berumur 8 tahun) diantara tebalnya kabut pagi dipinggiran jalan, tanpa baju, menjinjing bakul rantang nasi,bersama ibunya. Dari gestur, kelihatan ibu dan anak ini akan mengadu nasib menggarap sawah sebagai sumber kehidupan mereka. 

Pemandangan yang mengiris nurani, anak dengan usia yang seharusnya menikmati dunia sekolah, bermain bersama teman, namun justru harus membantu orang tua menafkahi keluarga. Lebih miris lagi jika kita melihat jumlah petani gurem di Indonesia yang cukup banyak yakni mencapai 14.248. 864(55, 33 persen) dari 25.751.267 rumah tangga pertanian. Yang dimaksud petani gurem ini adalah petani yang menguasai lahan kurang dari 0,50 hektar (Hasil Sensus Pertanian Tahun 2013 BPS). Besar kemungkinan, ibu dan anak ini adalah salah satu diantara petani gurem yang berjuang mempertahankan untuk hidup esok hari. Mereka inilah bagian dari orang  miskin yang mempunyai masalah makan apa besok. Bisa dibayangkan, dengan menggarap lahan kurang dari setengah hektar dalam konisi jaman pelik ini, apa yang didapat. Jangankan untuk membiayai kebutuhan sekolah, untuk kebutuhan makan saja sangat kurang.

Sementara jika kita melihat sisi lain, perilaku koruptor yang menggerogoti kekayaan Indonesia, menilap pajak hasil keringat rakyat miskin (termasuk ibu dan anak diatas) semakin menjadi. Dipastikan hampir setiap hari dihalaman surat kabar atau televisi, pemberitaan mengenai korupsi selalu menghiasi. Pelakunyapun beragam, mulai dari Kepala Desa, anggota DPR/DPRD maupun Kepala Daerah (Gubernur/Bupatyi/Walikota). 

Semakin hari, angka dan tingkat kejahatan kemanusiaan ini semakin meningkat. Misalnya jika kita melihat data kepala daerah terjerat korupsi semakin mengkhawatirkan .Berdasarkan Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan ada  343 Kepala Daerah yang berperkara hukum baik di Kejaksaan, Kepolisian maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Rinciannya 206 Kepala Daerah tersangkut kasus hukum hingga tahun  2010, 40 kasus tahun 2011, 41 kasus tahun 2012, 23 kasus tahun  2013 dan 56 kasus tahun 2014. Sementara itu, berdasarkan data yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tercatat 64 kasus korupsi yang menyangkut Kepala Daerah  selama 11 tahun terakhir. Dari 64 kasus tersebut, sebanyak 51 kasus sudah diputus Pengadilan.

Mencengangkan bukan? Bagaimana bisa kepala daerah yang seharusnya melayani dan bertugas mensejahterakan rakyatnya namun justru menjadi gurita penghisap darah rakyatnya sendiri, semua demi kepentingan menumpuk kekayaan semata. Sehingga tidak salah jika lembaga Transparency International (TI) menyebutkan jika  Indonesia tergolong negara dengan tingkat korupsi yang tinggi. Menurut TI, indeks persepsi korupsi (coruption perception index) tahun 2015 menunjukkan dari 168 negara yang diamati, Indonesia berada pada posisi 88 dengan skor  coruption perception index36. Skor rata-rata tahun 2015 adalah 43, artinya  Indonesia masih di bawah rata-rata skor persepsi dunia. Di Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand.

Namun betapapun tingginya tingkat korupsi dan hukuman yang diberikan kepada koruptor, hidup  mereka tidaklah sesulit yang kita bayangkan, meski  berada dalam jeruji penjara. Bahkan sekalipun berada dalam penjara, mereka masih  bisa jalan-jalan nonton pertandingan tenis di Bali seperti yang dilakukan Gayus Tambunan. Sehingga sekalipun berada dalam masalah, para koruptor ini pada dasarnya tidaklah punya masalah berarti karena banyaknya pundi-pundi kekayaan mereka yang bisa mengatur hidup. Masalah mereka tetap pada masalah prestise, "Makan dimana besok?', bukan seperti masalah rakyat miskin (ibu dan anak diatas) yang mendasar untuk berjuang hidup, yakni "makan apa besok?".

Ditengah carut-marut perilaku pejabat, kepala daerah, anggota DPR/DPRD, ada secercah harapan untuk membumihanguskan korupsi di Indonesia, yakni perilaku masyarakat yang semakin menunjukkan sikap anti korupsi. Berdasarkan hasil Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) Indonesia Tahun 2017 mengalami peningkatan yakni sebesar 3,71 pada skala 0-5, dari IPAK tahun 2015 sebesar 3,59. Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi. Sikap antikorupsi masyarakat inilah yang diharapkan menjadi sebuah gerakan sosial baru (the new social movement) untuk memerangi korupsi.  

Stimulus Wow Effect Korupsi

Sebuah adagium menarik dari korupsi ini yang menyatakan bahwa "korupsi berawal dari meja makan". Sederhana memang, namun kalimat ini menggambarkan bagaimana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa sebenarnya berawal dari hal paling sederhana yakni keluarga. Seorang pejabat yang berintegritas sekalipun bisa goyah jika keluarga (baca: istri dan anak) terus menerus merongrong menuntut berbagai kecukupan diluar batas gaji atau kemampuan suami. 

Momentum saat di meja makan biasanya paling sering dijadikan tempat "berkeluhkesah" menyampaikan keinginan untuk memiliki kebutuhan dan kekayaan yang lebih. Hal ini juga berkaitan dengan status sosial seseorang. Seseorang yang sudah terlanjur dikenal masyarakat sebagai pejabat bisa kehilangan wibawa atau status sosialnya turun jika tidak didukung kepemilikan material memadai. Dorongan inilah yang membuat seorang pejabat bisa kehilangan kontrol dan dengan mudah melakukan korupsi sebagai cara untuk menjaga status sosial.

Pengaruh istri dan anak masuk dalam kategori pengaruh atau efek yang sebelumnya diluar perkiraan atau disebut stimulus wow effect korupsi. Pengaruh inilah yang menjadi masalah dasar mengapa seseorang bisa berbuat korupsi, sekalipun awalnya seseorang tersebut berperilaku baik. Tekanan dan pengaruh dari luar diri diluar perkiraan tadilah yang mendorong harus mengambil tindakan pembenaran dengan  jalan pintas  melakukan korupsi. ini juga menurut filsuf Jurgen Habermas, dinamakan die Normativitaet des Faktischen,yakni kecenderungan suatu kenyataan faktual untuk membenarkan dirinya secara normatif dan bukannya dikontestasi dengan norma-norma yang seharusnya. (Subhan Setowara & Soimin, 2013).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun