Layaknya sebuah kegiatan jual-beli lain, maka si pembeli menginginkan harga yang rendah dan sebaliknya si penjual mengharapkan harga jual yang tinggi. Kalau dulu ada jual beli barang dan jasa, maka kini makin banyak saja jual-beli barang dan jasa yang berlabel kriminal.
Dan  itulah yang saat ini sedang ramai menjadi sorotan media terkait dengan kasus upaya penghapusan pajak yang melibatkan seorang pejabat di Ditjen Pajak (DH) dengan seorang pengusaha (NNR). Diberitakan, total komitmen suap sebesar 6 milyar rupiah agar surat tagihan pajak (STP) PT EK Prima tahun 2015-2016 sebesar 78 milyar rupiah dihapuskan.
Tangkap Tangan
Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK pada 21 November 2016 menemukan uang suap dalam mata uang dolar Amerika Serikat dengan nilai setara 1,9 milyar rupiah. Dan nilai terakhir inilah rupanya harga sebuah jeruji besi yang harus dibayar untuk menjadikan DH seorang kriminal, lengkap dengan hancurnya harga diri, karier, dan rasa malu yang tak tertanggungkan.
Sedangkan bagi NNR Â ruang sempat berjeruji besi itu dibelinya dengan harga 72 milyar rupiah (78 milyar dikurangi 6 milyar rupiah). Bagi si pengusaha itu mungkin hanya semata bagian dari proses bisnis biasa, sebab berlaku curang bagi pengusaha hampir menjadi keniscayaan.
Murah atau mahalkah harga ruangan sempit berjeruji besi itu, tiap orang boleh berbeda pendapat. Namun bila memperhatikan komentar sementara pihak bahwa KPK hanya menangkap pelaku kecil-kecilan saja, maka bagi si komentator harga penjara itu dinilainya terlalu mahal. . . .!
Daftar Panjang
Soal reputasi pegawai Ditjen Pajak dalam kasus penyalahgunaan wewenang kiranya seorang DH menambah panjang daftar nama pejabat dan pegawai yang berlaku korup-maruk-khianat-penista amanah dan mata gelap. Semua sebutan buruk boleh –dan bahkan wajib- disematkan kepada para kriminal itu.
Media nasional hari memberi judul ulasannya : ‘Korupsi Pajak. Upaya Penghapusan Palak Lebih dari Sekali’.  Lebih dari sekali tentu hanya upaya penghalusan dari kata ‘seringkali’. Jadi bayangkanlah ketika seorang  pegawai rendahan bernama Gayus Halomoan Partahanan Tambunan -biasa disebut Gayus Tambunan- memiliki harta hingga ratusan milyar rupiah, berapakah harta seorang pejabat setingkat Kasubdit pada institusi yang sama.
Dengan makin banyaknya pegawai Ditjen Pajak yang bermain mata dengan wajib pajak maka tidak berlebihan mestinya bila para pegawai dan pejabat disana diaudit kekayaannya dengan sistem pembuktian terbalik. Terkait dengan gaji mereka yang lebih besar dibandingkan pegawai lain maka sudah sepantasnya hukuman untuk mereka yang terbukti berlaku curang lebih berat.
Mawas Diri
Keberhasilan KPK membekuk pelaku korupsi pajak itu kiranya menjadikan semua jajaran di Ditjek Pajak mawas diri. Kasus DH membeli ruang sempit berjeruji besi dengan nilai 6 milyar rupiah serta NNR dengan72 milyar rupiah kiranya menjadi pembelajaran bagi semua pegawai dan pengusaha.