Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Di Atas Kereta Lodaya Bandung-Yogya, dan Sebaliknya

27 Agustus 2014   06:13 Diperbarui: 4 April 2017   18:14 3910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya hampir fanatik naik kereta api. Selain urusan cepat dan nyaman, angkutan umum monopoli Pemerintah itu juga relatif aman. Selama empat hari lalu saya berangkatdari Bandung ke Yogya  menggunakan kereta api, pergi dan pulang.

Kereta yang saya tumpangi namanya Lodaya. Kalau tidak salah kata itu sebutan untuk maung, atau harimau. Harga tiket kelas bisnis saat berangkat Kamis malam Rp. 230.000,- mendapatkan reduksi Rp. 7.500,-  Saya beli tiket di Alfamart, sehari sebelum berangkat. Senang sekali mendapat korting. Namun mendadak ciut ketika tahu nomor kursi Kereta Bisnis 3 Nomor 2C. Antara ujung kursi dengan dinding WC hanya berjarak 20 sentimeter, dan ini sungguh mengganggu.

Kereta yang seharusnya berangkat pukul 19.35 WIB tanpa penjelasan apapun telah 'molor' jadi pukul 20.00 WIB. Dua puluh lima menit termangu-mangu yang mengesalkan. Apa tidak sebaliknya kereta-api kita itu ada suara musik, atau sekedar speaker untuk mengumumkan sesuatu. Ini penting untuk komunikasi antara masinis dengan penumpang tentang apa saja  yang sedang terjadi. Itu layaknya seorang pilot dengan penumpang pesawat yang diterbangkannya.

Sepanjang malam saya tersiksa karena tidak bisa bergerak leluasa. Yang lebih meyedihkan lagi saya harus makan- minum sambil membayangkan ada orang dibalik dinding sedang jongkok, atau sekedar berdiri untuk buang hajat.

Setelah semua urusan di Yogya selesai, maka kereta pulang pun sudah dipesan. Saya coba naik kereta yang sama namun kelas eksekutif. Harga tiket Rp. 285.000,- dengan reduksi Rp. 7.500,-Kereta berangkat pukul 08.20 WIB, dan akan tiba di Bandung 16.04 WIB. Alhamdulillah kali ini pemberangkatannya tepat waktu..

Cuaca di luar bagus, pemandangan di luar luar biasa menarik, tempat duduk-ac dan suaana di dalam gerbong pun sangat nyaman. . . .!

Seorang pemuda di sebelah saya membantu menaikan ransel pakaian dan dos oleh-oleh ke tempat bagasi. Dam kami berbasa-basa sebentar sebelum ia sibuk dengan laptop-nya, dan saya sibuk memandang ke luar jendela,  sambil sesekali minum air kemasan dan makan camilan yang saya beli dari minimarket di luar stasiun.

Perjalanan siang hari ini membuat saya agak seksama melihat keluar jendela. Keluar kota Yogya terlihat perkampung di luar, rapi, bersih dan tertata. Wates dan Kutoarjo lewat. Ada tambahan beberapa orang penumpang pada kedua stasiun itu.

Pemandangan selanjutnya adalah hamparan sawah yang mengering karena kemarau. Itu membuat batang-batang padi kurus dan menguning sebelum berbulir, namun selewat itu terdapat pemandangan para petani sibuk memanen padi mereka. Sekelompok orang bekerja keras, ada yang menyunggi karung gabah, ada yang memotong batang padi, dan yang lain merontokkan bulir padi tanpa peralatan bantu.  Sisa batang padi banyak yang disebar merata pada permukaan sawah. Agaknya cara itu ditempuh untuk kemudian batang-batang itu dibakar, mungkin abunya difungsikan sebagai pupuk.

Adanya rel kereta ‘double track’ memungkinkan kereta saling perpacu berselebelahan, tanpa saling satu harus berhenti pada satu stasiun yang menyebabkan waktu penjalanan lebih lama.

Lalu lewat bukit, lembah, dan lereng. Kereta melaju dengan kecepatan penuh. Di luar pamandangan masih mengasyikan mata. Terik matahari kadang bersinar di sebelah kiri gerbong, lalu berganti ke kanan, menerobos jendela. Beberapa penumpang memilih melebarkan gorden sehingga sinar mathari terhalangi. Tapi ada juga yang membiarkannya, termasuk saya. Sinar matahari tidak cukup  mengganggu dibandingkan keasyikan pemandangan di luar sana.

Terlalu asyik melihat pemandangan yang berlarian di luar jendela, sesekali kantuk menyerang, tertidur, lalu bangun lagi, dan saya dapati pemandangan yang berbeda.

Kereta berhenti di staisun Sodareja, masih di Jawa Tengah. Tiba-tiba terdengar keributan kecil. O itu, suara penjual makanan dan minuman di luar gerbong. Saya penasaran untuk melihat mereka menawarkan dagangan di luar pintu. Saya tertarik membeli sepincuk pecel dengan tempe mendoan diatasnya. Cukup dengan uang Rp. 7.000,- saya sudah mendapatkan makan siang yang pedas-sarat serat dan murah meriah.

Kereta melaju lagi. Memasuki wilayah Jawa Barat jalur kereta masih tunggal. Di Stasiun Banjar terlihat seseorang bepakaian kumal, sarung diselempengkan, dengan rambut panjang tak tertusu dan topi lusuh. Seketika terpikir, bagaiaman halaman stasiun dihuni pula oleh orang kurang waras itu?

Dari balik kaca jendela, kini terlihat pemandangan yang kurang mengenakkan. Sampah berceceran yang dibuang di lereng samping rel kereta. Sisi-sisi rel yang dibiarkan tidak terurus. Terutama juga karena rumah-rumah penduduk membelakangi rel. Yang ada hanya kandang ayam, jemuran, dinding kumuh dan reyot.

Pada sisa perjalanan ini saya ingin menutup jendela dengan gorden, tapi tidak saya lakukan. Saya bertahan untuk melihat ke luar. Setelah stasiun Nagreg, Rancaekek dan Gedebage, terlihat hamparan sawah luas menghijau. Sejuk terasa di kelopak mata, meski kemudian muncul tanya: sampai kapan hamparan hijau itu mampu bertahan? Berapa luas lahan produktif yang sudah berganti peruntukannya?

Sore. Hujan menyambut penumpang kereta api Lodaya memasuki stasiun Kiara Condong, lalu Stasiun Besar Bandung. Saya bergegas berdesakan turun dengan mata lelah menampung betapa banyak pemandangan yang asyik sepanjang siang, tapi banyak pula yang tidak enak.

Begitulah cerita perjalanan dan sedikit pengamatan saya. Saya rasakan suasana stasiun makin asri dan tertata, suasana di dalam gerbong makin nyaman dan aman. Kalau PT Kereta Api ingin membuat perjalanan setiap penumpang tidak hanya dengan jendela tertutup gorden, sudah selayaknya pemandangan di luar jendela yang menjadi wewenang perusahaan dibenahi, dirapikan, dan diperindah. Halaman stasiun diperindah dengan taman, tidak gersang dan kosong. Sepanjang jalan yang disebaliknya terdapat perkampungan kumuh dibatasi dengan pagar tanaman, misalnya dengan bambu hias. Buangan sampah di lereng kiri-kakan rel dibersihkan, lalu akses pembuangannya ditutup.

Maka niscaya bakal banyak penumpang, bahkan wisatawan, yang semakin fanatik memilih kereta api untuk perjalanan lintas Jawa, mungkin kelak juga lintas Sumatra, dan entah kapan nanti lintas Sulawesi. . . . .! Semoga!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun