Tiap profesi pastilah punya banyak sisi, setidaknya sisi positif ada negatifnya. Mau tidak mau, disadari atau tidak. Termasuk bagi para jurnalis serta awak media (fotografer, juru kamera, editor, produser, dan lain-lain).
Ukuran krusialnya bukan sekadar keduniawian, melainkan juga keakhiratan. Terutama terkait dengan jebakan ghibah yang haram dilakukan dan berkonsekuensi dosa besar.
Para jurnalis dalam beragam profesi yang mewartakan dan menyiarkan tiap hari harus menceritakan dan menggambarkan (lewat kata, gambar, foto, video) orang lain. Tidak selalu hal-hal baik. Tak jarang, dan bahkan yang terbanyak, justru hal-hal buruknya. Termasuk tentang kejahatan seksual dengan berbagai variasinya.
Karena profesi mereka, para pekerja tersebut harus mengungkit-ungkit sisi buruk dan tersembunyi dari pelaku maupun korban sebagai obyek berita, dan kemudian mengobralnya melalui media. Mereka mendapatkan materi itu antara lain dari saksi mata, dari CCTV, dari keterangan polisi, atau dari proses persidangan.
Hal-hal yang harusnya disimpan dan rapat disembunyikan (sebagai rahasia pribadi yang akan dipertanggungjawabkan sendiri para pelakunya di hadapan pengadilan Allah SWT kelak) harus dibongkar.
Masyarakat pun jadi tahu banyak hal, dan menimbulkan pro-kontra. Dan terlebih juga ikut bergunjing, berghibah, menambah dan mengurangi dan menafsir maupun menduga-duga hal lebih buruk, dan seterusnya. Melalui media massa, media sosial, media online, ataupun offline.
*
Untuk memberi gambaran lebih jelas, berikut ini ada beberapa contoh yang bagus untuk dibahas sisi mana yang bernuansa ghibah. Coba saja perhatikan, dua judul berita koran berikut ini:
1. 'Beraksi Sejak 2020, Oknum Guru Cabuli 8 Santriwati di Sukabumi' - Tribun Jabar, 2 Mei 2025 13:37 WIB.
2. '31 Anak Jadi Korban, Predator Seks di Jepara Sudah Beraksi 6 Bulan' - Tim detikJateng -- detikNews - 2 Mei 2025 11:14 WIB