Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Omongan Tetangga, dari Buto Ijo hingga Kandang Bubrah

8 Mei 2021   16:29 Diperbarui: 8 Mei 2021   17:03 3512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sesajen untuk pesugihan - boombastis.com

Ketika masih SD, ada omongan tetangga yang masih penulis ingat sampai sekarang. Saat itu penulis tinggal pada sebuah desa di  kaki Gunung Merbabu. Menurut kabar yang beredar, orang-orang kaya di desa kami ada yang memiliki pesugihan.

Pesugihannya buto ijo, kandang bubrah, dan tuyul. Konon untuk memelihara tuyul tidak perlu pakai tumbal nyawa. Berbeda dengan pesugihan buto ijo dan kandang bubrah. Orang yang ingin kaya raya dengan dua pesugihan itu harus pakai tumbal nyawa.

Adapun tumbal nyawa biasanya orang-orang terdekat. Anak, isteri atau saudara. Bisa pula orang lain yang sengaja ditumbalkan. Untuk pemilik tuyul (cerita orang tua dulu) ditandai dengan orang yang berjalan ke pasar desa dengan kedua tangan berada di belakang. Seperti orang menggendong sesuatu/seseorang.

Pesugihan buto ijo biasa memakan banyak korban, hingga orang yang membuat perjanjian sendiri tewas sebagai tumbal. Sedangkan pesugihan kandang bubrah, ditandai dengan si pemilik pesugihan mempunyai kebiasaan bangun-bongkar rumah, terus-menerus. Meski sudah bagus dan selesai, masih dibongkar. Seperti tak ada habis-habisnya.

Anak-anak bisa tahu cerita itu karena obrolan beberapa orangtua (terutama kaum ibu) yang didengarkan oleh anak-anak.

*

Isteri bercerita peristiwa belasan tahun lalu. Ia tinggal di batas kota. Ada kompleks perumahan kecil, belasan rumah saja penghuninya. Selebihnya suasana perkampungan masih terasa sekali di sana.

Suatu malam ia ngobrol di rumah tamu dengan anak-anak dan mantunya. Tiba-tiba salah satu gelang keroncong (sebutan gelang yang dipakai beberapa sekaligus) yang dikenakannya dirasa ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Gelang itu beberapa saat tampak melayang lambat-lambat ke arah pintu (posisi tertutup). Kejadian tersebut terlihat oleh beberapa orang di ruang tamu itu. Ada yang coba mengambil, tapi gagal. Gelang itu menghilang dari lubang kunci pintu.

Pernah pula beberapa kali lembaran uang yang disimpan di lemari hilang. Sudah lama muncul dugaan ada salah seorang warga punya tuyul. Meski beberapa kali mengalaminya, isteri tidak bilang ke siapa-siapa. Khawatir ia yang lupa menyimpannya.

Kejadian lain, suatu malam, seorang peronda memergoki seekor babi hutan melintas. Orang-orang di pos peronda yang sedang asyik ngobrol pun melihat. Spontan mereka serabutan mengejar. Babi berlari di tikungan. Saat para peronda sampai di sana, buruan sudah tidak ada. Lenyap tanpa jejak. Seperti menghilang begitu saja.

Cerita yang lain lagi, masih di kampung yang sama. Pernah malam-malam terdengar suara seperti kereta kuda melintas di gang sempit perumahan warga. Orang-orang yang belum tertidur mendengar suara mencekam itu. Suara klonengan pedati dan derap beberapa ekor kuda maupun suara roda terdengar jelas. Pagi-pagi warga ribut. Ada yang menduga-duga, itu suara kedatangan Nyai Roro Kidul ke rumah salah satu warga kampung.

Kecurigaan pada salah satu warga sempat muncul. Tetapi tidak pernah ada tindakan lanjutan. Peristiwa mistis itu sudah lama berlalu, dan tidak pernah terjadi lagi. Orang yang diduga pelaku sudah meninggal dunia.

*

Ada lagi cerita seorang kenalan. Sebut saja namanya Asni.  Ketika masih kelas 3 SD ia pernah di ajak ibunya bertandang ke rumah seorang saudara jauh. Sebut saja namanya Pak Bun. Diceritakannya, Pak Bun merupakan oang kaya, usahanya banyak, mobil pribadi dan angkotnya pun banyak.

Seperti anak-anak lain, Asni bermain bersama anak-anak Pak Bun. Mereka menjelajah ke halaman dan beberapa sudut rumah. Naik ke lantai dua. Bahkan ia menyelinap sendirian ke lantai tiga. Di lantai tiga itu Asni masuk ke sebuah ruangan dengan pintu tertutup. Ia penasaran. Di situ ada sesajen di atas tampah besar. Ada kemeja panjang warna hitam tersampir di dinding. Suasananya suram. Anehnya ada bagian ruangan yang dindingnya dibiarkan bolong.  

Belum sempat melihat-lihat lebih lama,  Asni dipanggil ibunya dari lantai bawah. Asni bergegas turun.

Dalam perjalanan pulang ibunya wanti-wanti agar lain kali tidak bermain ke lantai tiga. "Kenapa, Bu. . . .", tanya Asni dengan wajah heran. Ibunya tidak segera menjawab. Beberapa hari kemudian, di rumah, dengan setengah berbisik Ibu si  Asni baru menjawab: "Itu ruangan sangat pribadi. Pak Bun kalau mau mencari uang masuk ke sana. Lalu mengenakan kemeja hitam. Dan jadilah ia . . . .". Asni penasaran, bertanya "Apa?" Ibunya ganti berbisik ke daun telinga puterinya, "Babi hutan. . . . !"

*

Ya, demikian saja kisah-kisah yang terkumpul dari omongan tetangga. Itu kisah orang-orang salah jalan, bahkan sesat. Kisah mereka yang putus-asa, mata-gelap, nekat memilih jalan pintas untuk cepat kaya, dan tak segan bersekutu dengan setan. Mereka, tidak untuk ditiru. Wallahu a'lam, ***

Cibaduyut, 8 Mei 2021 / 25 Ramadan 1442
Sugiyanto Hadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun