Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Keluarga Besar, Makan Setampah Bertujuh, dan Ketuk Sahur Koko'o

1 Mei 2021   23:35 Diperbarui: 1 Mei 2021   23:49 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami keluarga besar. Dua orangtua dan sembilan anak. Tinggal di rumah yang relatif sempit. Di gang tengah kota yang padat pula. Maka kebiasaan apapun rasanya menjadi tradisi. Ya, memang harus diatur ketat. Bila tidak bakal muncul cek-cok yang tak perlu.

Soal sahur pun demikian. Itu tahun 1970-an. Yang paling awal bangun tentu saja Ibu. Beliau pergi tidur lebih awal, dan harus bangun lebih awal. Ibu  menyiapkan menu sahur. Perlu keterampilan memasak cepat, menyiapkan makanan dan minuman cepat pula. Saat itu belum ada kompor gas dan kulkas.

Sedangkan Bapak, dan kami anak-anak bangun dan menunggu giliran. Baik giliran masuk kamar mandi, giliran berpakaian siap sahur. Giliran berangkat subuhan ke masjid setelah sirene tanda imsak didengungkan lewat speaker masjid.

Menu sahur terbaik tak lain sayur lodeh, lalu goreng tempe-tahu dan telur dadar. Minumnya air teh panas manis. Hari lain berganti menu. Sayur sop ayam, atau sayur kacang merah. Berjejer piring berisi nasi dengan porsi orang sahur, juga gelas. Rapi di atur ibu, sesuai urutan.

Oya, tidak lupa kami menyetel radio transistor. Siarannya lagu-lagu keislaman, irama Qasidah. Tak jarang suara penceramah agama memberi santapan rohani. Nikmatnya kebersamaan pada masa lalu.

"Ayo, makannya dipercepat. Sebentar lagi imsak. . . .!" begitu bapak, atau ibu, berganti mengingatkan. Ya, tentu makan-minum cepat saja. Waktunya juga mepet.

*

Peserta sahur dalam jumlah banyak terutama di pondok pesantren. Bukan hanya puluhan, tak jarang ratusan anak sekaligus dalam satu pondok. Tidak mengherankan perlu dapur khusus. Serupa dapur umum dalam peristiwa bencana.

Bila ponptren anak perempuan sudah biasa mereka memasak. Tetapi untuk pontren laki-laki, tak ada kata menolak untuk bergiliran mempersiapkan menu sahur. Memang ada juru masak khusus. Para santriwati, atau santri hanya membantu.

Karena banyaknya makanan yang harus disiapkan sering mulai pukul 01.00 waktu setempat proses memasak sudah dimulai. Dari mulai meracik sayuran, memotong-motong daging ayam atau sapi, menggoreng kerupuk, menggoreng tahu dan tempe, membuat sambal, dan merebus air untuk membuat teh panas manis.

Sekitar jam 3 para santri mulai bangun. Mereka memenuhi kamar mandi yang berderet-deret, untuk bersiap salat tahajud, tadarusan, dzikir dan 'itikaf, sambil menunggu hidangan sayur disiapkan. Begitu hidangan siap ada petugas khusus yang menyiapkan pada sebuah tampah, nyiru, atau nampan. Perkakas dapur dari anyaman bambu berbentuk bundar, menyerupai piring, berdiameter sekitar 70 sentimeter.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun