Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Jangan Cari Aku di Pekuburan Itu

16 Februari 2021   23:37 Diperbarui: 17 Februari 2021   05:11 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
arm wrestling champion - thegroundtruthproject.org

Lama tak saling berkabar kita, hingga suatu waktu kelak, entah kapan, mungkin perlu juga kita bertemu. ada masih dendam kesumat di dada, dan harusnya kita tuntaskan. Itu pun kalau kamu masih sama kesatria seperti dulu.

Waktu itu kita sebangku di SMA, dan bahkan juga tunggal-guru dalam bela diri silat, serta selalu bersaing dalam olah kanuragan. Satu saat kamu unggul sedemikian tinggi untuk mampu kusaingi. Pada kala lain giliran aku tak terkejar meski usahamu habis-habisan siang-malam hendak mengungguliku.

Lalu muncul si pemicu konflik, entah dari mana ia datangnya, tiba-tiba seperti berdiri begitu canggung dan malu-malu di antara kita. Bukan saja di lapangan olahraga, melainkan juga di sekolah, dan di tempat lain. Di kantin, di perpustakaan daerah, di pasar seni, di bioskop, di tempat-tempat nongkrong anak muda.

Lebih dahulu kamu tanya aku, "Bagaimana pendapatmu? Sukakah kamu dengan gadis hitam manis tapi kurus itu?" Tidak kujawab, sebab kusadari, aku tak pintar menilai seseorang kecuali diberi waktu cukup senggang. Giliran kutanya pertanyaan hampir sama. Jawabmu tegas seperti seketika, "Salah teman-teman menggelariku si penakluk, kalau sampai ia  luput dari genggaman. . . . !"

Tanpa sadar kita pun jadi saling berpacu. Kamu dengan segenap keangkuhan dan serba terbuka. Sebaliknya aku diam-diam saja, pelan-pelan, tidak terlalu berharap sebenarnya. Dan gilanya si pemicu konflik seperti menyadari posisinya, dan dengan sangat leluasa mempermainkan perasaan kita berdua.

Kurang ajarnya, ia memilih dipacari oleh guru muda kita, guru olahraga berotot tetapi punya senyum begitu lembut untuk sanggup melelehkan hati para kembang yang menunggu datang serbuan kumbang. Bahkan guru muda itu pun mampu memanasi hati kita untuk mau diadu dalam beberapa nomor lomba dan olahraga, hingga akhirnya diadu pula untuk saling mengalahkan secara fisik: berkelahi.

Dengan janji gila, ia mau melepaskan si pemicu konflik dari rengkuhannya, dan menyerahkan kepada si pemenang, antara aku atau kamu.

Lalu, kita pun berkelahi dengan sepenuh hati. Siapa lelaki tak terpikat persaingan bila merasa diri tangguh untuk mengalahkan?

Tidak ada pemenang, atau lebih tepatnya, tidak ada yang suka rela mengalah. Hingga Polisi pun turun tangan, dan kita berdua masuk bui. Bersamaan dengan itu, tanpa ada kabar lagi, si pemicu konflik terbang entah ke mana, dan entah pula hinggap pada sosok siapa.

Kita berpisah, tanpa tahu ke ujung dunia mana akhirnya singgah. Hampir lima puluh tahun berlalu, dan tak dinyana kita disambungkan oleh aneka platform media sosial. Meski entah dari ujung dunia mana kita saling berjauhan. Kita pun masih akan melanjutkan urusan dulu.

Mungkin sebaiknya kita berdamai. Andai pun masih ada dendam, bolehlah kita teruskan perkelahian tertunda tempo itu. Tapi tentu jatah umur tak bisa menunggu. Bila pun akhirnya tak segera jumpa, jangan cari aku di pekuburan itu. Ada begitu banyak nama sama di sana. Sedang kuburku hanya bertanda onggokan batu. ***

Sekemirung, 16 Februari 2021 / 4 Rajab 1442

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun