"Secangkir kopi hitam? Tunggu sebenar, Bang . . . . ."
Di pintu depan ada seseorang mengucap salam dan mengetuk pintu pagar. Bang Brengos buru-buru melintas ke teras. Pak Widar melempar senyum. Tapi agak kecut. Seperti ada sesuatu yang sangat penting untuk disampaikan.
Bang Brengos mendekatkan daun telinga. Itu kebiasaan Pak Widar, berbisik.
"Ada beberapa tetangga yang tidak pasang bendera. Kita mesti melakukan sesuatu. Setidaknya mengingatkan.. . . . . !"
Bang Brengos membuka pintu pagar, lalu mengajak Pak Widar ke teras. Dan ia ganti berbisik.
"Apa yang mesti kita lakukan? Tidak ada. Â Biar nanti Pak RT atau Pak RW yang menegur warga yang lupa memasang bendera. Jangan sampai lantaran maksud baik malah diajak bertengkar seperti kejadian di pesawat Garuda beberapa hari lalu. . . . . . !"
"Mumtaz Rais? Anak bungsunya Amien Rais?" tanya Pak Widar penuh rasa ingin tahu.
Bang Brrengos tidak menyahuti, sebenarnya ia akan nyeletuk "songong" seperti yang biasa diucapkan Amien Rais, tapi tidak jadi. Ia justru coba mengalihkan pembicaraan ke hal lain saja.
Sementara itu Mak Jumilah mengintip dari jendela ada tamu di teras. Ia hafal siapa yang datang. Buru-buru ia membuat dua cangkir kopi hitam. Dugaannya, bakal lama kedua pensiunan itu kalau sudah ngobrol. Apalagi kali ini bahan omongan mereka cukup menggelitik: tetangga tidak pasang bendera. . . . Â ! ***
Cibaduyut, 16 Agustus 2020