Dimas menyimpan selemari penuh berisi mimpi. Juga sekantung harapan, dan pada semua saku kemeja dan celana tersimpan tumpukan cinta. Maka betapa berat langkah kaki dirasakannya manakala harus menyusuri lorong untuk mengejar semua itu. Berat tubuhnya dengan mimpi.
Mimpi telah dijalaninya dengan baik, ijazah sarjana sudah dikantongi. Namun, sebagaimana mimpi lain nyatanya tak sedikit sarjana tak sanggup mewujudkannya meski sudah bekerja keras.
Ia terlanjur siang malam mengerjakan sesuatu. Menjadikan yang murah jadi lebih bernilai. Mengumpulkan yang terserak menjadi bernilai jual. Apa saja yang diperkirakannya seperti itu, dilakukannya. Dan memang ada hasilnya, meski tak seberapa.
"Mungkin sekadar belum ketemu dengan yang terbaik. . . . !"
"Itu juga yang kurenungi. Harus lebih sabar, menunggu kesempatan. Seperti pemburu yang tak lepas dari teropong pengintai. Membidik ke mana biasanya sasaran berkeliaran. Memperhitungkan  arah angin, jarak tembak, dan berbagai kemungkinan terburuk. . . . . . !"
"Kamu sudah mulai pintar menilai situasi. Mulai belajar rasanya berhasil. Dan tentu perlu waktu tidak sebentar. Setidaknya kamu telah menaikkan keterampilan cukup memadai."
"Belum sepintar yang seharusnya. Tapi lumayanlah. . . !"
Di depan cermin itu ia bersuara sendiri, semacam dialog, antara ego dengan hati. Di dalam diri sendiri saja. Dan sesekali terngiang cercaan sekeliling. Cerca, ketika kuliah terbengkelai lantaran keasyikan belajar berbisnis. Cerca lagi, ketika terlalu tekun kuliah hingga lupa bergaul. Mau jadi perjaka tua, Dimas? Isil mereka.
Cerca ketika beberapa teman lain diwisuda, menyandang gelar sarjana, dan mendapatkan bidang kerja yang gemilang untuk masa depan. Sedang diri sendiri masih berkutat dengan perbaikan skripsi.
"Ayo, cepatlah, Nak. Tidak perlu sempurna. Sebab nilai skripsi tidak terkait dengan cerah-remangnya hidup kita. Cepat selesai, agar segera dapat memikirkan hal-hal lain yang jauh lebih sulit: masa depan."
"Bahkan tanpa skripsi pun hidup harus lanjut. Tapi dengan skripsi jangan menjadikanmu pongah. Sebab masih ada tesis dan disertasi, bila sempat kejar juga. Begitu pun gelar strata satu cukup mumpuni sebagai pembelajar."