Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bangku Panjang Taman Kota

30 Juni 2020   20:58 Diperbarui: 30 Juni 2020   21:09 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
santai di bangku panjang taman kota - www.piqsels.com

Hampir satu jam saya duduk santai di bangku panjang taman kota. Hari masih pagi. Lelah berolahraga saya terduduk di situ. Selebihnya terkantuk-kantuk, melamun, mengenang, merenung-renung pada perjalanan hidup yang tak mulus.

Kesendirian menjadikan seseorang terlalu perasa. Kadang terpikir hal-hal aneh dan janggal. Misalnya menjadi perampok sebuah keluarga kaya. Karena terlalu takut dengan ancaman golok, si ibu -korban perampokan- merelakan puterinya yang cantik dinikahi pelaku asalkan tidak ada yang terluka.

"Ah, senangnya hati si perampok tunggal itu. Rezeki nomplok. Surat perjanjian dibuat di atas materai. Mudah-mudahan kesenangan si perampok itu tidak berlangsung lama. Sebab akan lain ceritanya bila ternyata si puteri cantik itu kurang waras, atau lumpuh, atau penderita penyakit tertentu . . . . . !" gumam saya seraya tersenyum sendirian.

Memikir nasib sendiri kerap bikin sedih. Tetapi berandai-andai dapat membuat hati senang. Saya menduga itulah sebabnya para pengarang hidup senang, meski serba berkekurangan.

Saya menghirup udara segar sepenuh dada, sambil melempar pandang ke mana-mana. Paru-paru terbasuh, demikian juga mata disegarkan banyak pepohonan hijau pada seputar alun-alun.

Tak jauh dari situ seorang perempuan muda dengan pakaian kelaki-lakian duduk dengan kacamata hitam dan merokok. Di tangannya sebuah smartphone. Pandangnya sekilas ke sekeliling, dan sekilas ke layar smartphone. Di tempat duduk yang lain beberapa orang bergerombol, ngobrol, dan makan camilan atau meneguk minuman dari botol plastik.

Di seberang alun-alun, di ujung sana masjid besar, di sebelah utara Kantor Gubernuran Ahad pagi seperti biasa, saya berjalan dari rumah memutari kota kecil itu. Dan hampir menjadi semacam kewajiban, yaitu duduk di bangku panjang taman kota.

Di sana saya seperti pengail ikan. Mudah saja mendapati beberapa jenis ikan. Bukan ikan sebenarnya, tapi teman, saudara jauh, atau kenalan baru. Tak jarang kepergok sahabat lama. Namun, yang terbanyak saya justru diusir anak-anak muda --dengan aneka gaya dan cara mereka- yang ingin nongkrong bersama teman-teman di tempat saya duduk.

"Biasanya Abang tepat pukul 9 beranjak dari sini. . . .!" ucap seorang pemuda dengan penampilan kekinian. Pilihan bentuk dan warna maupun bahan sepatu, celana panjang, jaket dan topi, serta kacamata, tak lain produk anak dari keluarga mampu. Ia berdiri bersama dua teman sebaya, dan berpenampilan sama-sama sangar.

"Hari ini berbeda. Dan saya sanggup melawan kalian bertiga bila sengaja ingin mengusir. Saya tidak mau mengalah lagi. . . . . .. . . .!"

"Mengusir? Ohh, tidak. Saya hanya ingin menagih uang parkir, ya uang duduk Abang di sini. Kami preman di kawasan ini. Mohon maaf. . . .!" jawab pemuda yang lain yang bertatto di pipi dan kening.

Saya tidak mau ribut. Dan memang tidak perlu. Saya terpaksa meninggalkan tempat itu, bergeser belasan langkah ke samping, ke undakan tangga alun-alun ke arah tempat parkir mobil dan motor.

Perempuan yang berpakaian laki-laki dan sesekali memperhatikan saya ikut beranjak dan duduk di bangku tak jauh dari tempat saya duduk. Saya tidak curiga buruk, mungkin hanya kebetulan saya di tempat duduknya sudah panas sinar matahari. 

Perempuan di depan saya itu sekitar 30 tahun, atau lebih. Ramping penampilannya, mata bulat, bulu mata lentik, mengenakan jilbab dengan masker hampir menutup wajah. Sekilas pandang ia tampak penuh perhatian. Mengamati, dan mengerjap, seperti berpikir. Lalu entah bergumam apa, terdengar dengung saja dari mulutnya. Tidak terlihat oleh saya: tersenyum, merengut, atau ternganga. Saya ingin tahu, tetapi memilih diam saja.

Tiga pemuda itu kembali mendekati. Dan kali ini dengan terus-terang menyatakan jumlah yang harus saya bayar: "Lima puluh ribu rupiah, Bang. Itu sudah murah, Abang tidak bisa lagi berkelit. Uang parkir pantat sifatnya wajib. Demi keamanan dan kenyaman Abang sendiri. . . .!" gumam si pemuda dengan tubuh paling gempal dan berotot.

Saya terjingkat kaget. Dan seketika naik kemarahan saya. Tapi segera sadar, saya tidak boleh membuat keributan. Apapun boleh dilakukan, dan akan dilindungi kelompok saya, tetapi membuat keributan menjadi pantangan. Sebab bila sampai terliput media, meski sekadar media sosial, bakal panjang urusannya. Dan itu bisa berakibat fatal.

Saya berpikir cepat, dan mendapatkan jalan keluar. Saya berbisik: "Kita selesaikan saja di lantai bawah, Dik. Lantai paling dasar bangunan ini. . . .!"  (Bersambung) ***

Cibaduyut, 30 Juni 2020

Baca tulisan menarik lain sebelumnya:
sepeda-onthel-dan-kenangan-touring-pada-akhir-80-an
adu-akting-yang-dimenangkan-si-penipu-butet-dan-melia-wahyuni
cerpen-berharap-ada-jodoh
cerpen-tahukah-tuan-ke-arah-mana-jalan-pulang
ketika-kejujuran-polisi-jadi-bahan-lelucon

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun