Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merenungi Sebuah Pertanyaan

17 April 2020   07:52 Diperbarui: 17 April 2020   08:06 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi alam semesta | Shutterstock via gatra.com

Kehidupan ini sebenarnyalah merupakan sebuah dialog. Ada pertanyaan, dan ada pula pernyataan. Satu pihak ingin mengetahui jawaban atas sesuatu, dan pihak lain memberi jawaban atau pernyataan atas apa yang ingin diketahui orang lain (bahkan diri sendiri).

Sebuah pertanyaan, ya apakah perlunya untuk direnungi? Apa hebat dan dahsyatnya untuk ditelaah dan dibahas sedemikian hingga menghabiskan jatah umur? Ternyata melalui tanya seseorang terpacu untuk berpikir, merenung, dan berusaha keras mencari jawabnya. Jawaban kita tidak kita dapatkan tanpa pengetahuan (sekadar tahu), pengalaman (apa yang kita alami), dan ilmu (cara untuk menemukan jawab/tahu).

Dalam keseharian sering kita dihadapkan pada pertanyaan mudah: "Dari mana, Bang?" Jawab saja, "dari belakang". Dan boleh diteruskan dengan, "mau ke depan". Si penanya mungkin akan tertawa, setidaknya tersenyum. Geli. Sebab bila hanya demikian jawabannya tak perlu ada pertanyaan. Tapi tidak. Tetap perlu ada pertanyaan, sebab jawab yang ada akan menentukan siapa sebenarnya kita ini.

Dengan pertanyaan yang sama, "dari mana, Bang"; kita dapat memberi jawaban yang lebih sulit. "Dari mengurus penguburan orang meninggal. Ternyata repot. Urusan penguburan pun saat ini menimbulkan demo-demo, kemarahan, dan pertengkaran. Mereka menolak jenazah dimakamkan di pekuburan umum di wilayah mereka. . . .!"

Kalau sipenanya segera paham arah jawaban, maka ia akan bertanya lebih lanjut: "Apakah mereka tidak paham mengenai hak mayit? Apakah mereka tidak cukup ilmu agama mengenai kewajiban orang yang hidup terhadap jenazah?"

Bisa panjang tanya-jawab soal itu harus berlanjut. Untuk memperpendek percakapan, si penjawab bisa menyudahi dengan kata pamungkas: "Entah!"

*

Kembali ke pertanyaan yang perlu kita renungkan, seperti judul tulisan ini, bukanlah yang gampang atau boleh kita gampangkan jawabannya.

Pertanyaan yang saya maksudkan dalam tulisan ini berbeda dibandingkan sekadar pertanyaan pada ujian mata pelajaran/kuliah tertentu. Para siswa, atau mahasiswa, kadang hanya perlu menghafal jawabannya saja. Menggunakan logika dan pemikiran akademis tertentu. Jawabannya tidak terkait dengan konsekuensi apakah kita melakukannya atau tidak, percaya atau tidak atas jawaban itu, tahu latar belakang munculnya pertanyaan atau tidak, dan seterusnya.

Misal sebuah pertanyaan, "apa yang kamu ketahui tentang batu?" Jawabannya seputar benda yang bernama batu, kandungan materialnya, aneka kondisi fisik, dan bagaimana ia menjadi seperti itu. Tidak ada pertanyaan lanjutan, misal, untuk apa ia diciptakan? Siapa penciptanya? Bagaimana proses penciptaanyan? Bagaimana sikap kita terhadap batu?

Kata "batu" dapat kita ganti dengan apa saja yang lain, yang ada di alam semesta ini. Langit, bumi, satwa, bencana, sedih dan gembira, penyakit, takut, mati, agama, dan lain sebagainya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun