Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kamar Kontrakan (2)

19 Februari 2020   17:58 Diperbarui: 19 Februari 2020   17:57 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kamar kontrakan seraya di penjara--artuk.org

Tiga hari kemudian kutemukan tubuhku meringkuk, kaku, dengan mulut berbusa. Kulihat jelas, nyata. Aku bahkan dapat menyentuhnya. Agaknya aku telah berada di luar tubuhku. Botol air teh merk terkenal itu bersisa setengah. Beberapa buah apel dan jeruk masih utuh. Masih seperti saat Karin menyrahkannya paaku.

"Mungkin kamu perlu berpikir beberapa lama. Aku menunggumu, Jamin. Ini kubawakan minuman, apel dan jeruk. Tidak lebih dari sebulan kulihat tubuhmu sudah berubah. kusut, lungai, dan tanpa semangat. Kamu pucat dan tampak kurus, tak terurus. Aku tahu kamu sangat mencintai pekerjaanmu. Karena itu segeralah kembali bekerja. Kita bisa bertemu setiap hari. Ayahku minta maaf atas semua kesalahan ini. . . .!" ucap Karin kemarin saat menyalamiku untuk pamit pulang.

Aku berjanji untuk secepatnya memberi jawaban. Berjanji untuk menutup luka dalam yang terlanjur tertoreh di dinding hatiku. Berjanji untuk menemukan jalan lain tanpa ada hinaan terhadap orang miskin dan tak berpendidikan tinggi sepertiku. Kemudian ia berjalan menjauh.

Siang harinya kutenggak minuman dari botol kemasan pemberian Karin. Cuaca panas, lapar bisa kutahan, tapi haus tidak. Cairan itu mengalir deras dari tenggorokan ke lambung, sebentar singgah di lidah, manis dan segar rasanya. Tapi ada rasa lain yang berbeda, entah apa, seperti menyengat di rongga mulut. Aku mulai curiga. . . . .!

Beberapa petugas polisi berpakaian preman memasuki kamar kontrakanku. Daun pintu didobrak. Daun jendela dibuka lebar, semua dibongkar, diteliti.

Ada beberapa barang yang mereka bawa. Aku bergerak ke sana -- ke mari, tapi tidak ada yang memperhatikanku, tidak mendengar suaraku, dan mereka menganggapku tidak ada. Mereka hanya memperhatikan tubuhku yang terbujur kaku, mata terbeliak, dan mulut berbusa.

"Dugaan sementara, korban mengakhiri hidupnya sendiri dengan menenggak minuman dicampur racun tikus. Tidak ada tanda-tanda tindak kekerasan. Informasi dari pemilik kontrakan, ia penghuni baru. Tapi ia jarang keluar kamar. Tiga hari lalu ia berhalusinasi menerima seorang tamu. . . . . .!" ucap seorang petugas Polisi Satserse kepada beberapa orang wartawan muda.

Aku hanya bisa tersenyum. Tanpa perasaan apapun. Sebab kini aku tahu semua, mata dan pendengaranku sangat tajam. Apa yang selama ini tersembunyi menjadi terang benderang, nyata semua benang merahnya.

Namun, aku tidak bisa protes dan meminta keadilan. Aku tahu, minuman itu dari Karin. Karin telah bersekongkol dengan Permana dan ayahnya.

Kebakaran besar itu semata soal klaim asuransi. Pengusaha nakal, sekalipun dalam keseharian tampak alim dan soleh.  Mereka tidak pernah kekurangan akal untuk berlaku sadis dengan menghalalkan segala cara. Dan aku harus ikhlas menjadi korban, menjadi tumbal keserakahan mereka, dibunuh dengan cara yang tak terlihat di mata manusia.***

Sekemirung, 14 Maret 2019 -- 19 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun