Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Berkawan Banjir (3)

31 Januari 2020   17:24 Diperbarui: 31 Januari 2020   17:26 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aliran air hujan di teritisan | milkwood.co.za

"Oh, begitu ya?"

"Memang begitu. Aku yakin betul."

"Jadi, harus diberi peringatan. Kalau perlu diancam agar tidak jatuh ke lembah dosa?"

"Dengan berdoa. Tidak ada pilihan lain kecuali berdoa dengan khusuk, ikhlas, dan penuh pengharapan. Kita pernah salah berharap, salah menilai keadaan. Sebab ternyata di manapun alam ini berkuasa, hukum alam tidak mungkin diubah. Itu sunatullah. Bahkan apapun di dunia ini adalah mahluk yang mengikuti ketentuan Allah, tidak bisa lain. . . .!"

Isteriku terdiam, dan aku pun tak melanjutkan kata-kata yang mungkin saja bernada kesal, jengkel, dan marah. Tapi tidak, aku  menahan diri untuk tidak berprasangka buruk kepada apapun.

"Minumlah kopimu, Bang. Sudah dingin. . . .!" ucap isteriku setelah beberapa menit terdiam. "Makanlah biskuitnya. Menungglah dengan perasaan senang dan tanpa khawatir. Itu lebih baik. . . .!"

Aku mengangguk, dan menyeruput kopi dengan sangat nikmat. Aku menahan diri untuk tidak bertanya: air hujankah yang kuminum ini? Rasanya beda. Jangankan untuk minum air teh dan air jahe, untuk air kopi pun terasa beda sekali. Lidah serasa bergetar,

"Enak sekali kopimu, Bu. . . .!" kataku memuji, lalu duduk di kursi kayu di teras.

"Semanis pembuatnya ya, Bang?" jawabnya sambil tersenyum. Kerut-kerut di wajahnya makin dalam dan banyak, dank ami sadar usia telah meambat jelang senja.

Menunggu, dan menunggu. Terasa lama. Lalu gerimis turun sangat pelan, lirih seperti tak hendak diketahui datangnya. Lama kelamaan makin rapat, deras, makin lebat, dan . . . . .!

"Banjir, Bang. Banjir. Selamatkan barang-barang milik kita . . . .!" teriak isteriku lantang seraya berlari ke sana-sini..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun