Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kucing di Teras Rumah

28 Januari 2020   15:26 Diperbarui: 28 Januari 2020   19:38 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kucing liar di australia | ilustrasi via kompas.com

"Kamu pasti yang membunuh kucingku, dan mengubur di belakang rumah, ya? Pakai cangkulku pula.. . . ."

"Cangkul?"

"Ya, cangkul. Cangkul Mas Jumali itu punyaku. Kejam kamu. Apa salah kucingku. Itu kucing kesayangan. Kucing kampung, tapi kesetiaannya padaku sebagai majikannya sangat besar. Aku minta ganti rugi, satu juta. . . .!"

Lik Marsidik merah padam wajahnya. Marah dan malu jadi satu. Ia ingin ganti melabrak perempuan gendut tak tahu diri itu. Tapi tidak. Ia mengucap istigfar beberapa kali, dan tidak menyahut satu katapun. Ia masuk ke dalam rumah, lalu mengambil uang satu juta rupiah. Cepat diserahkannya uang itu beserta cangkul tua yang dipinjamnya, tanpa mempertanyakan utang Mas Jumali. Tanpa sepatah kata pun.

*

Di rumah Mas Jumali tertawa berderai-derai. Siasat busuk dua orang itu berhasil. Bu Padmo memperagakan bagaimana ia  bicara keras dan penuh emosi layaknya pemain watak dalam sinetron. Ia juga meniru sikap Lik Marsidik, wajah dan gerak-gerik tubuhnya yang kaku dan linglung.

Bu Padmo mengakhiri sandiwaranya dengan mengeluarkan sepuluh lembaran uang merah dari balik dasternya. Mas Jumali melihat uang itu, kaget dan tidak percaya. Makin keras saja suara tawanya. Senang, bangga, dan merasa menang. Sampai kemudian Bu Padmo mengamati uang merah itu dengan lebih seksama. Mendelik matanya, mengerjap-ngerjap. Ternganga.

"Ada apa, Bu?"

"Palsu. Ini uang palsu. . . . .!" jerit Bu Padmo kaget, setengah merintih. "Bodohnya. Bukan kita yang ngerjain Lik Marsidik. Sebaliknya kita yang dikerjainnya . . . . !"

Mas Jumali melongo. "Sudahlah pelit, licik pula," gumamnya marah. *** Bdg, 12 Juni 2019 -- 28 Januari 2020

Gambar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun