Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kucing di Teras Rumah

28 Januari 2020   15:26 Diperbarui: 28 Januari 2020   19:38 454
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kucing liar di australia | ilustrasi via kompas.com

Saat itu ada tetangga di atas genteng rumah sebelah. Rupanya ia sedang memperbaiki letak antena televisi. Namanya Mas Jumali. Ia melihat dari kejauhan apa yang dilakukan Lik Marsidik. Pikirannya menduga-duga. Dalam otaknya segera tergambar tetangga yang sangat pelit dan lama hidup menduda itu sedang menanam harta karun. Dilihatnya pula gagang cangkulnya patah.

Tak lama kemudian Mas Jumali muncul di balik pagar rumah Lik Marsidik. Ia menenteng sebuah cangkul tua.

"Wah, kebetulan sekali, Mas Jumali, datang. . . !" ujar Lik Marsidik dengan nada gembira.

"Kebetulan? Ohh, saya juga kebetulan sekali. Biasanya pintu rumah selalu tertutup rapat. . . !" ucap Mas Jumali segera melancarkan siasatnya.

"Ya, kebetulan. Cangkul itu. Lik perlu tuh. . . .  !"

"Oh, tentu saja. Kita 'kan sudah lama bertetangga. Harus tolong-menolong dong. Jangan suka pelit. Nanti hartanya tidak berkah. . . . . hehehe!"

"Sudah. . . . sudah. Tidak perlu ngelantur ke mana-mana. Cangkul itu. . . .!"

"Wah, kebetulan pagi ini beras di rumah habis. Sayur dan lauk tidak punya. Kalau tidak keberatan pinjami saya uang dua puluh ribu saja, Lik. . .!"

Lik Marsidik hendak mengelak. Tapi ia butuh cangkul. Maka dengan wajah suram ia penuhi juga permintaan itu. Dari dompet ia keluarkan selembar uang dua puluh ribuan. Sedangkan Mas Jumali mengulurkan cangkul yang dibawanya. Tidak ada percakapan lagi kecuali perjanjian. Uang akan dikembalikan kala mengambil cangkul.

*

Dua hari kemudian Bu Padmo datang ke rumah Lik Marsidik. Wajahnya merah, tampak didera marah. Ia berdiri di depan pagar dan berteriak memanggil. Membuka pagar begitu saja, masuk halaman dan berdiri di teras, bersiap melabrak pemilik rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun