Tunjangan Hari Raya dengan Taman Hiburan Rakyat itu tidak bersangkut-paut sama sekali sebenarnya, selain keduanya dipendekkan menjadi THR. Begitu pun sebenarnya sangat bertautan, sebab tunjangan selalu memberi hiburan, sedangkan perayaan paling sering melibatkan rakyat.
Demikian sekadar 'othak-athik gathuk' sebagai pengantar, bahwa dalam THR mengandung suka-duka, cermin, dan bahkan keharusan berinstrospeksi diri sebelum sampai pada Lebaran ('lebar' berarti selesai, tuntas, atau sempurna dalam menjalani ritual Ramadan dengan segenap ibadah dan muamalah serta aktivitas lainnya).
*
Pada dasarnya bersyukur itu bukan perkara mudah. Maka seberapapun kita menerima -dari hasil kerja kita- akan terasa kurang, dan bersamaan dengan itu kurang bersyukur atau bahkan tidak bersyukur sama sekali. Padahal kalaupun ada yang mencurangi kita (perseorang, lembaga swasta, atau pemerintah) entah kapan kelak bakal kembali pada kita juga dengan cara yang tak terduga-duga. Jadi kenapa tidak bersyukur saja?
Seberapapun harta yang dimiliki oleh orang yang tidak mudah bersyukur akan dirasa tidak cukup, selalu kurang, sedikit, bahkan dirasa tidak punya. Mengejar dunia itu tidak aka habisnya, tidak akan ada puasnya. Dalam bahasa agama, memburu harta seperti meminum air laut. Semakin banyak meminumnya bukannya meredakan haus, tetapi sebaliknya malah bertambah haus. Maka manusia menjadi rakus.
Gambaran gampang mungkin berapa banyak uang yang dikumpulkan PM Malaysia Najib Razak yang lengser baru-baru ini. Entah hendak membeli apa ia mengumpulkan 114 juta ringgit yang setara dengan 405 milyar rupiah dalam 26 mata uang itu?1/ Yang jelas buka untuk THR. Tidak cukup. Sebab total yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk pembayaran gaji ke-13 dan THR adalah Rp35,76 triliun atau 69% lebih banyak dari jumlah tahun lalu. 2/
Rahasia apa dibalik bersyukur dan merasa cukup itu yang selalu saya pikirkan dan terus coba saya wujudkan dalam hidup saya. Tapi seperti kalimat pertama tulisan ini: bukan perkara mudah.
Dalam bemberitaan koran beberapa hari, lalu ada majikan penjual kelapa muda yang tewas di tangan seorang karyawannya yang menagih THR namun tidak ditanggapi. Sadis dan kejam. Lebaran urung.
Ada lagi cerita lama, jelang Lebaran anak majikan sudah dibelikan pakaian baru. Sedangkan si asisten rumah-tangga dan seorang anaknya belum sempat diberi THR. Entah pikiran dan perasaan apa yang melanda ketika si anak -yang sebaya anak majikan- memilih mati dengan cara gantung diri  di rumah majikan itu.
Masih banyak cerita lain yang bernuansa tragika. Membenarkan dan menyalahkan seringkali terasa sama-sama salah, namun pada saat yang sama jadi sama-sama benar. Namun ujung ceritanya mungkin pada sikap kita yang sering terlalu melebih-lebihkan makna Lebaran. Hari Raya Iedul Fitri seolah-olah menjadi segala-galanya, sehingga harus disertai perilaku dan ritual ini dan harus itu.
Tidak seluruhnya salah, tetapi ada yang harus dibenahi. Ceramah tarawih kemarin malam mengingatkan para orangtua bahwa hadiah terbaik bagi anak bukan saat Lebaran, tetapi justru saat mereka rajin-bersemangat-rampung dalam berpuasa, tadarus, tarawih, dan ibadah maupun amaliah lain yang ingin diberi target oleh orangtua kepada anak selama bulan Ramadan.